MENOLAK GOLPUT: SEMATA-MATA DEMI TANGGUNG JAWAB KOLEKTIF

MENOLAK GOLPUT: SEMATA-MATA DEMI TANGGUNG JAWAB KOLEKTIF

Umi Lasminah

Wacana Golput: Langkah mengkerdilkan partisipasi Politik Kolektif

Ada suatu hal yang sampai saat ini tidak saya mengerti sebagai warga negra yang baru saja belajar berpollitik. Di saat menjelang pemilu menjelang pemilu legislative ini, wacana golput menjadi marak kembali. Wacana golput dimasa Orde Baru itu bisa dimengerti, partai-partai saat itu tunduk pada Soeharto,caleg-caleg tidak dikenal,mayoritas berasal dari keluarga kerabat para penguasa. Saya sepakat dengan ibu Megawati saat mengucapkan hal tersebut di Kick Andy, dimana dalam menjalani dan mengisi kemerdekaan tidak ada grey area bagi warga Negara tapi hak dan kewajiban yang dijalankan secara sadar dan penuh tanggung jawab. Saya mengerti ini sebagai bagian dari penghargaan, dan penghormatan pada mereka yang berjuang dengan mengorbankan darah, air mata dan nyawa bagi sebuah Negara Merdeka. Maka menjadi warga Negara yang sadar merupakan tanggung jawab atas apa yang telah dititipkan oleh pendahulu pejuang Kemerdekaan.

Ada banyak wacana di media massa, di emailist yang mendukung dan mendorong golput. Bahkan salah satu pemimpin bangsa mendorong golput karena alasan yang saya tidak tahu pasti, apakah terkait dengan pecahnya partai atau memang menganggap tidak ada seorang pun dari partai-partai yang jumlahnya 44 partai dengan (caleg Nasional yang berjumlah 11ribuan)cukup dapat dipercaya dan mampu melaksanakan amanat mewakilinya menjalankan tugas negara membuat UU, menyusun anggaran dan mengawasi pemerintahan. Bahkan ada salah seorang yang pada Pemilu 2004 tidak ikut mencoblos karena golput, pada tahun 2009 ingin mencalonkan diri jadi Presiden dari pihak Independen. Begitu antusiasnya sampai mengajukan review ke Mahkamah Konstitusi. Buat tindakan orang ini sah-sah saja, tapi realitas politik bangsa Indonesia tidak dapat dilepaskan dari fakta sejarah, kondisi ekonomi, tingkat pendidikan rakyat dan budaya. Demokrasi a-la Amerika Serikat (dengan pemilihan langsung, dan system pemilu distrik) bisa saja cocok dan layak diterapkan di Negara Paman Sam, yang demokrasinya sudah berjalan ratusan tahun.

Indonesia, demokrasi dengan system memilih pemimpin langsung, baru dimulai pada 2004, belum genap 5 tahun. Sudah hendak diajukan sistem baru. Bukankah melaksanakan sistem, mengubah budaya bagi bangsa yang seluas, seheterogen Indonesia tidak dapat dilakukan dalam hitugan satu-dua tahun saja, kecuali memang ada AGENDA dibelakangnya (yang tidak menginginkan Negara Indonesia besar dan Jaya, sebagaimana yang dicita-citakan Pendiri Bangsa. Yang pasti, para pendiri bangsa jika mereka masih hidup tidak akan menganjurkan Golput. Hak Politik memilih pemimpin secara kolektif disia-siakan begitu saja. Kolektif adalah mereka yang aktif turut dalam partisipasi PEMILU memilih partai. Sedangkan individu adalah mereka yang golput. Sama halnya dengan mereka yang memperjuangkan calon Independen. Gembar-gembor calon independen tak lebih dari liberalisasi politik. Individualisme yang seakan-akan dibungkus oleh HAM. Tak heran Soekarno dulu sempat menolak Bill of Rights, dengan alasan akan mengagungkan kepentingan pribadi (independen, perseroangan) Depolitisasi:Semakin Rakyat tidak Sadar Politik, Semakin Kekuatan Ekonomi Politik Luar dapat Mencengkram Indonesia Tidak berhenti pada menyebarluaskan wacana golput di Media massa.

Agen-agen yang tidak menginginkan Indonesia menjadi besar dan Jaya, terus saja berupaya membuat Bangsa Indonesia terus bodoh (pura-pura pintar karena mereasa mempraktekkan demokrasi dan HAM), dengan menghembuskan propaganda anti partai, anti DPR-Parlemen, dan anti demokrasi. Propaganda ani partai dilaksanakan oleh lembaga yang didukung oleh pendanaan pihak luar negeri (Amerika Serikat), dibuatlah survey, dan penelitian, dinyatakanlah bahwa: Partai Adalah Lembaga Terkorup, dengan rangkin tertingi Propaganda terus juga dilanjutkan dengan menyebutkan bahwa, lembaga Negara yang menjadi alat Partai, alat Rakyat, DPRRI Punya Kinerja Paling Buruk. Begitu buruk citranya apapun kerja yang dilakukan anggota DPRRI yang turun kebawah, memperjuangkan aspirasi rakyat melaui UU tidak ada artinya. Kekuatan media menjelek-jelekan DPRRI yang mendapat pembenaran melalui opini maupun survei terarah.Persepsi buruknya partai politik, rendahnya kinerja DPR yang dihembuskan organisasi-organisasi yang notabene didanai Asing, akhirnya mengarah kepada kematangan menjadi persepsi publik. Akan tetapi publik yang mana? Yang sadar media? Tidak pernah terlibat politik,tidak peduli poltik,atau mereka yang memiliki kesadaran bahwa Politik dapat Menjadi Penjaga Peradaban, Penerus Cita-cita Proklamasi. The Invisible Hands Realitas kehidupan bangsa Indonesia maupun kehidupan politik rakyat Indonesia, banyak penguasa-penguasa tak terlihat ‘Invisible Hands/Mind’ yang terus menjaga agar Indonesia tetap terpuruk, rakyatnya apolitis, dan Negeri yang Tanpa Harga Diri. Semua terjadi karena lemahnya kesadaran politik bahwa menjadi bangsa yang merdeka adalah bangsa yg menghargai pahlawanya,bangsa yang bangga pada perjuangan pendahulunya. The invisible hands ini sebenarnya kelihatan juga. Mereka adalah orang-orang yang duduk dalam posisi penting di berbagai lembaga Negara, maupun lembaga swadaya masyarakat yang menjaadi sumber utama pemberitaan media. Umumnya mereka adalah orang-orang terdidik dari Amerika Serikat, atau paling tidak memiliki kedekatan dengan masa lalu (keturunan)yang terkait dengan salah satu agen perubahan dan desainer Orde Baru. Sebut saja orang-orang ini bagian dari desainer ekonomi Indonesia saat Orde Baru , atau desainer sistem politik Indonesia menjelang Reformasi. Tanpa bermaksud menyebutkan salah satu partai di masa lalu, kalangan ini rata-rata memang pintar cerdas, terpelajar, kaya raya dan sangat dekat dengan Amerika Serikat. Bahkan umumnya juga punya visa keluar masuk Amerika Serikat.

Salah seorang dari mereka menganggap bahwa, kerja-kerja kader-kader mereka menduduki pemerintahan dan jabatan-jabatan strategis, mereka bukan organisasi massa. Sistem Pemilu baru didorong, Bukan berarti turut serta Itulah sebabanya, kini bentuk dan sistem demokrasi Indonesia jauh dari yang pernah dibayangkan oleh para pendiri bangsa, yaitu demokrasi ada untuk kesejahteraan rakyat bukan demokrasi untuk demokrasi. Demokrasi dengan sistem pemilihan langsung adalah demokrasi yang diendorse oleh para aktivis LSM- pada tahun 1998. Mereka turut menjatuhkan rejim Soeharto. Akan tetapi banyak dari LSM atau CSO(Civil Society Organisasi) yang dulu mendorong demokratisasi politik,ternyata tidak turut serta dalam demokrasi yang diusulkannya sendiri, dengan kata lain mereka tidak ikut memilih, tidak ikut partai politik dan tetap anti partai (seperti yang dihegemonikan oleh Orde Baru). Tidak sedikit beralasan belum ada partai yang baik, belum percaya pada caleg-caleg, akhirnya tak menjatuhkan piihan pada partai apapun. Padahal sistemnya mereka yang dorong, sistem yang membuat informasi lebih terbuka, lebih demokratis, eh tidak juga mereka turut mempraktekan ketika sistem tersebut sudah jalan. Yang lebih parah lagi sudah menjatuhkan Judgement bahwa tidak ada partai yang baik, sementara, bagi para aktivis yang punya akses informasi, dapat mencari tahu tentang ideologi partai (platform) dari berbagai sumber. Dapat mempelajari lewat AD/ART, atau melihat sendiri praktek partai trsebut di lapangan oleh kader-kadernya.Nyatanya hal itu pun tidak dilakukan. Entah alasanya apa, malas?

Saya melihat fenomena yang ada merupakan skenario besar untuk mendepolitasi kembali warga negara, menjauhkan rakyat dari kesadaran politik (bahwa mengexercise politik WN,dalam PEMILU, adalah pengambilan keputusan secara koletif untuk tujuan kolektif ke arah yang lebih baik). Sementara Golput adalah memilih tidak mengambil keputusan,dan akan berdampak delegitimasi pemenang pemilu. Bahkan salah satu pemimpin CSO mau menghapuskan gambar partai dari kertas suara, yang artinya mau menghilangkan symbol kolektif rakyat yang memiliki kesamaan cita-cita atau kepentingan. Padalal runtutan sejarah Negara Indonesia menjadi seperti sekarang juga bermula dari organisasi, dari partai politik, Indiche Partai. Organisasi adalah kerja kolektif untuk kepentingan kolektif. Sekarang LSM-LSM yang notabene juga organisasi mau mengedepankan individu, perseorangan dalam ranah public, politik…saya masih belum mengerti alasannya.

Partai Tentara, Siapa Peduli? Ada yang juga mengkhawatirkan lagi adalah, fenomena kelahiran partai-partai politik dari kalangan yang dulu,pada masa pra reformasi menjadi momok para aktivis, dan LSM pembela HAM. Partai-partai politik ini tidak hanya dimotori oleh kalangan tentara maupun mantan tentara, akan tetapi juga hendak mengembalikan supremasi militer di tanah Indonesia. Kekuatan organisasi masyarakat sipil tidak mampu membendung kekuatan yang tidak hanya kuat secara ekonomi, juga rapi dan terstruktur serta memiliki disiplin yang mayoritas ada pada militer. Saya masih ingat bagaimana AsmaraNababan dan Munir,dlm satu ptemuan diskusi di Gedung Joeang 45 pada  tahun2 sebelum pemilu 2004 yang membahas pelanggaran HAM yang tdk jua selesai dan pelakunya tak jua diadili bergagas untuk mendirikan partai, keduanya sadar bahwa kekuatan Politik legal yang dapat menjembatani rakyat dan menempatkannya pada kekuasaan, dan wewenang, adalah Partai Politik.

Di samping itu kekuatan lain yang mencemaskan jatidiri Negara bhineka adalah, kekuatan anti demokrasi yang didukung oleh partai yang sektarian agama. Kekuatan partai ini tidak hanya tidak dapat dihalangi oleh kemampuan LSM dan aktivis, akan tetapi Partai sectarian agama ini dengan kemampuan dua mukanya, bisa memanfaatkan media massa untuk propaganda iklan tentang sesuatu yang bukan mereka. Iklan-iklan yang ditampilkan sangat berbeda dengan AD/ART partainya, dengan maksud tujuan pendirian partai, yang bahkan bertentangan. Alih-alih mencoba menempatkan diri sebagai partai yang suci, santun, menghargai pahlawan, kebutaan akan sejarah telah membuat partai ini mencoba membuat imej baru pada partai yang jelas-jelas sektarian, menjadi partai yang plural. Pemilu tahun 2009 ini sebenarnya ada titik terang dari masuknya para aktivis pembela HAM ke dalam partai politik, bahkan menjadi caleg pada posisi nomor urut baik, yang (sebelum keluar Keputusan MK tentang Suara terbanyak) bisa jadi anggota DPR. Disadari atau tidak oleh mereka, cara masuk ke dunia politik duduk dalam insitusi Negara, adalah cara yang paling strategis untuk membendung kekuatan sektarian. Memperkuat fungsi Partai Sejarahnya, partai poltik yang menjadi cikal bakal pergerakan kemerdekaan, dimulai Indiche Party, Partai Nasional Indonesia 1927 dst.

Mengapa parpol begitu penting? Karena dseluruh dunia, parpol adalah salah satu institusi negara yang legal, resminya untuk menjadi perantara perjuangan dan perwujudan kepentingan kebutuhan rakyat. Partai politik adalah institusi yang membawa perubahan akan nasib suatu bangsa. Bagaimanapun kekuatan rakyat, tidak dapat menjadi benar-benar kuat bila tidak ada pengorganisasian, tidak ada persatuan dan gotong royong. Sekarang yang diperlukan adalah memperkuat fungsi politik partai. Memperkuat manajemen kepartaian, dan kemandirian pendukung-pemilih partai. Bukan sebaliknya. Hari ini tanggal 1 Maret 2009 Kompas pada halaman menuliskan tentang revitalisasi partai. Akan tetapi pada saat yang sama, di halaman Kompas menulis buruknya tatakrama DPRRI. Tatakrama yang sebenarnya dilindungi oleh hak imunitas anggota DPRRI, bahwa anggota DPRRI dapat bicara apa saja di ruang sidang. Menurut saya propaganda deparpolisasi melaui tulisan-tulisan yang buruk tentang DPRRI layaknya ditulis secara lebih proporsional dan mendalam. Padahal Kompas (Sabtu, 28 Februari, 2009) sebelumnya telah menulis bahwa fungsi Partai untuk menagregasi kepentingan rakyat mungkin dilaksanakan, dan bukti-bukti sudah ditunjukkan…Akan tetapi dilihat dari frekwensi pemuatan berita buruk tentang DPRRI disbanding berita baiknya, rasanya masih tidak balance. Selayaknya pula, jika ingin melanjutkan kritik pada lembaga legislatif, selayaknya dilakukan secara berimbang, bahwa di eksekutif, di kantor Departemen-departemen, PNS-PNS yang kerjanya main game, baca koran, dan kalau ada warga butuh pelayanan (khususnya di Departemen non pelaksana langsung pelayanan public) warga dilempar sana lempar sini. Belum lagi gaji dan tunjangan dirjen-dirjen atau pejabat eselon I-IV, juga dengan proyek-proyek di departemen-departemen berfoto folio.

Yang paling baik adalah, para aktivis masuk ke partai (apa saja) atau menjadi simpatisan, maupun konsultan, ikut mempengaruhi politik baik langsung di parlemen, atau di luar secara konsisten. Ketimbang marah-marah dan mencaci maki, dan membuat judgement yang tidak kondusif bagi perkembangan politik Indonesia…. Golput kini bukanlah untuk perlawanan dibanding saat Orde Baru, civil disobedient juga bukan….lalu anda mau apa…

bagi orang-orang yang tidak terjun di partai, tidak ikut menjadi simpatisan partai, yang paling mudah adalah menjudge, menghina, akan tetapi sumbangsih apa yang bisa dilakukan lakukan. Negara ini bukan didirikan dengan sekedar darah airmata, dan mimpi membangun bangsa setelah Jembatan Emas (merdeka), tapi kerja keras kerja keras dan kerja keras bersama rakyat, terutama rakyat yang sadar…sehingga rakyat yang sadar ini TIDAK digolputkan dengan dihapuskan namanya dari DPT dan diam saja. Hak politik, memilih dalam Pemilu bisa dihilangkan oleh pihak-pihak yang menginginkan kekuasaan, menghapuskan ‘identitas’ manusia warga negara, dan hanya dengan perjuangan kolektif WN hak ini bisa dijaga di perjuangkan, sama halnya dengan dahulu para pejuang memperjuangkan kemerdekaan politik…

Advertisement

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Create a free website or blog at WordPress.com.

Up ↑

%d bloggers like this: