Perempuan Kelas Menengah Indonesia: Agen Pelanggeng Keterpurukan Bangsa?
Seringkali tampaknya seolah-olah saya antipati terhadap kelas menengah atas, dan sering dianggap ‘iri’ atau sirik. Tidak apa-apa. Karena pada dasarnya opini yang sering saya kemukakan tentang kelas menengah Indonesia tak lain adalah fakta brutal, fakta nyata dari suatu masyarakat kelas menengah yang individualis, apatis dan apolitis.
Hal ini terutama sekali dalam konteks kolektifitas gerakan sosial. Salah satu masalah yang paling mendasar dari keberlanjutan keterpurukan Bangsa Indonesia adalah, tidak andilnya kelas menengah dalam gerakan sosialnya, dan dalam konteks ini perempuan kelas menengah.
Sangat sulit untuk berharap pada perempuan kelas menengah Indonesia, hal ini terutama mereka adalah produk hidup dari Orde Baru, dimana Negara dan pemerintah telah menghegemoni state of mind mereka, dan menghegemoni nurani mereka dengan stereotipe perempuan: yang takut pada politik, kekuasaan adalah kejahatan dan domestikasi adalah keharusan, dan konsumerisme adalah kewajaran.
Pelaksana Neoliberal
Keterpurukan Indonesia yang terus menerus baik secara ekonomi maupun politis tidak terlepas dari sikap, prilaku dan gerakan perempuan kelas menengah. Secara tidak sadar para perempuan kelas menengah ini menjadi agen neoliberal. Pada konteks kebijakan negara yang didorong dan disponsori oleh pihak luar (baca Asing negara-negara Barat utama Amerika Serikat-sebagai Bapak Kapitalis dunia), perempuan terbawa arus, terikut serta dan tidak memiliki kekuatan kolektif untuk melawan. Yang paling riil adalah manakala BBM naik, perempuan kelas menengah atas tidak ada yang lantang bersuara tidak ada yang secara nyata dan pasti menolak dengan bergerak. Hampir total semuanya diam. Kebijakan neoliberal membuka luas ruang kapitalisme yang diakomodasi melalui peraturan dan regulasi pemerintah, dalam arti sempit saya, neoliberal adalah kapitalisme yang diresmikan melalui regulasi pemerintah. Contoh riil-nya adalah UU Mineal dan Batubara No. 4 tahun 2009, atau UU Kelistrikan dan mungkin yang juga tak kalah krusialnya UU Pelayanan Publik dan UU Badan Hukum Pendidikan.
Neoliberal yang di Indonesia dimulai resmi dengan keikutsertaan Indonesia menjadi anggota WTO (Organisasi Perdagangan Internasional) melalui UU No.7 Tahun 1994. Undang-undang yang memuat ratifikasi keanggotaan Indonesia di WTO ini memiliki lampiran berbahasa Inggris tentang syarat dan kewajiban Indonesia dalam naungan WTO. Melalui UU inilah Indonesia memiliki kewajiban dan keharusan yang sebenarnya tidak layak dilakukan oleh Negara Indonesia yang masih dalam konteks membangun negeri. Globalisasi ekonomi yang dihembuskan dalam WTO tak lain adalah membuka peluang keleluasaan Negara maju untuk berusaha mengeruk keuntungan dari negara Indonesia. Dalam konteks ini barang masuk dan perusahaan asing beroperasi dan menjajakan daganganya dan mentargetkan perempuan sebagai pasarnya. Terkait dengan liberalisasi perdangangan BBM, dengan naiknya harga BBM Indonesia yang hampir sama dengan negara maju, maka SPBU-SPBU asing tumbuh subur berdagang dan bersaing dengan SPBU Indonesia (Pertamina dan milik orang Indonesia). SPBU Indonesia harus bersaing dengan SHELL, PETRONAS, BP (British Petroleum). Lalu barang-barang yang dikonsumsi perempuan atau keluarga mulai dari sabun, pakaian perabot rumah tangga juga datang dari barang-barang yang dibuat di luar negeri (impor).
Hampir pasti perempuan memilih barang yang lebih murah dengan kualitas bagus. Hampir pasti jarang sekali atau bahkan hampir tidak ada perempuan Indonesia yang ketika berbelanja mencari barang buatan Indonesia. Sementara para pedagang dengan lantang menjajakan dagangannya sambil bilang “ini dari Hongkong mbak, atau cincin ini buatan Taiwan mbak”…lalu perempuan yang sedang memilih-milih yang akan dibelinya mau tak mau terbawa, sangat sulit menemukan perempuan yang bilang “wah saya mau cari barang lokal, yang bagus kan banyak juga mbak…cinta produk dalam negeri dunk”.
Si Pedagang bisa keheranan dan menganggap perempuan ini aneh atau langsung bilang “wah gak ada tuh mbak”…Yang paling mengejutkan juga adalah, di toko-toko besar dimana terdapat banyak barang produk impor untuk produk tas, sepatu, tapi sulit menemukan produk terkenal lokal seperti Eiger, Bodypack atau Export seperti di Sarinah, atau di Blok M Plaza atau di Grand Indonesia. Kita sulit menemukan barang-barang Indonesia yang memiliki kualitas baik dan harga terjangkau di tempat dimana barang-barang bermerk impor merajalela, seakan-akan barang Indonesia berkualitas pun tak cocok dan tak layak dipajang di tempat-tempat atau toko bagi pembeli kelas menengah ke atas.
Mayoritas Apatis dan Apolitis, Minoritas Aktif dan Politis
Walaupun kelas menengah mayoritas adalah pemberi kontribusi atas apa yang terjadi di Indonesia, namun perkecualian dari mereka justru yang mampu memberi perubahan pada nasib perempuan Indonesia pada umumnya. Mereka ini adalah perempuan kelas menengah dan terpelajar yang biasa disebut aktivis perempuan yang walaupun tidak memberikan perlawanan atashegemoni system ekonomi Negara, mereka melakukan perlawanan dalam konteks relasi seksual yang tidak seimbang di antara perempuan dan laki-laki, antara Negara dan warga, yang pada akhirnya memberi dampak pada perubahan dibidang ekonomi dalam scope mikro.
Aktivis Perempuan mungkin bila dihitung jumlah prosentasinya, tidak sampai 1 persen dari perempuan seluruh Indonesia, mungkin hanya 2 persen dari kelas menengah perempuan. Jumlah yang minim tersebut tentunya disebabkan karena keinginan terlibat dalam aktivisme, dan aktivitas sosial politik perempuan masih menakutkan bagi kalangan kelas menengah. Ketakutan yang mendarah daging dan mengakar dihampir semua perempuan di Indonesia yang disebabkan oleh deparpolisasi dan depolitisasi Negara Indonesia.
Tulisan ini tidak bermaksud menyalahkan mentah-mentah perempuan kelas menengah yang umumnya terpelajar dan memiliki pilihan yang lebih luas dibanding rekannya yang kelas menengah bawah.
Pilihan, dan melaksanakan pilihan yang terbaik, terutama dengan Chosing Side- atau Berpihak pada Yang Tertindas, Lemah (disabilitas), Miskin adalah PILIHAN yang didasari Kesadaran, dan Kesadaran Menggunakan-Melaksanakan-Mewujukan Pilihan untuk Berpihak adalah EXERCISING FREEDOM (Mengaktualisasikan Kebebasan). Setiap Warga Negara di Indonesia Telah DiAnugrahi KEBEBASAN, dan khususnya kelas Menengah, KEBEBASAN tersebutlah yang harusnya dipakai untuk MEMBEBASKAN yang lainnya: Bebaskan diri dari Kemiskinan, Penindasan dan Pembodohan.
Jangan berharap pada rakyat kelas bawah, rakyat kelas bawah memerlukan ‘Orang-orang Yang Memberi Mereka Perlindungan, Sandang, Pangan’ untuk Berjuang Hidup, atau MELAWAN.
Langkah Pertama Yang Harus dilakukan Perempuan Kelas Menengah SeIndonesia adalah: bergaul dan berkenalan dengan Perempuan lain, bekerjasama BERPIHAK pada yang lemah, yang tak BERKUASA, 99% dari populasi manusia di Dunia.
@umilasminah
sipp! materi ini yg kucari2.
thanks.
ada benarnya, tapi masih perlu dikaji ulang. Kelas yg dimaksud hanya kelas menengah atas di kota besar. Perempuan terpelajar di daerah mungkin punya perilaku yg berbeda.
tapi saya setuju dg pemikiran kritis diatas,, kampanye untuk membangkitkan opini cinta bangsa sndiri harus dipompakan agar mjd arus besar dlm masyarakat terutama kelas menengah.