Jakarta, 4 Juni, 2013, Hotel Acacia Matraman
Komnas Perempuan bekerjasama dengan Jaringan 231 mengadakan peluncuran pelaporan tentang Kekerasan terhadap Perempuan di Aceh tahun 2011-2012. Laporan yang tidak terlalu mengejutkan, namun memprihatinkan. Walaupun hanya data dan angka yang dipaparkan, kita dapat turut merasakan keprihatinan yang sama, bahwa tak beda dengan perempuan lain di Indonesia, perempuan di Aceh pun kerap mengalami kekerasan, khususnya kekerasan seskual.
Walaupun Aceh telah memiliki UU Pemerintahan Aceh pasal 231 yang isinya: Pemerintah Aceh dan Pemerintah Kabupaten dan Kota serta penduduk Aceh berkewajiban memajukan dan melindungi hak-hak perempuan dan anak, serta melakukan pemberdayaan yang bermartabat“serta mengikuti hukum Nasional UU Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga …
Jaringan 231 yang terdiri dari 16 organisasi perempuan dan HAM Aceh justru dalam penelusuran fakta dan pendokumentasian data kasus kekerasan terhadap perempuan terjadi peningkatan,justru setelah 5 tahun UU Pemerintahan Aceh berjalan.
Antara lain data peningkatan kekerasan 2011 kasus KDRT ada 189 maka meningkat menjadi 224 kasus tahun 2012. Yang lebih mengerikan lagi adalah kasus kekerasan di ranah publik mayoritas korban adalah anak berusia 2-8 tahun dan pelakunya adalah mereka yang dikenal korban. Lokasi publiknya antaralain lokasi kejadiannya 60,4% terjadi di fasilitas umum baik diruang terbuka, angkutan umum, ruang kerja/tempat usaha 9,5% dan lembaga pendidikan 7,5. Di tempat privat antara lain Rumah Kos, Rumah tetangga, Rumah kosong, 9,5% , dan 5,6% terjadi di wilayah desa
Perempuan dan Politik di Aceh
Pemerintah Aceh, yang diwakili oleh Gubernur Aceh, dalam sambutannya saat launching Jaringan 231 pada Maret 2013 antara lain menyatakan: ” Ke depan kita berharap tingkat kekerasan terhadap perempuan dan anak di Aceh akan menurun. Kita juga berharap perempuan Aceh memiliki kesempatan yang sama untuk tampil di ruang publik“. Pernyataan pemerintah di depan 16 lembaga yang memantau dan mengawasi implementasi pasal 231, berhak menagih janji tersebut. Selama ini gerakan perempuan Aceh telah membantu pemerintah, khususnya partai politik dengan memberikan pelatihan pengembangan kapasitas politik perempuan, dan bahkan Balai Syura Perempuan juga telah memulai kegiatan terkait peran politik perempuan sejaktahun 2010. Balai Syura menggagas didirikannya Rumah Perempuan Ppolitik Aceh (RPAA) sebagai wadah peningkatan kapasitas perempuan Aceh. Para perempuan yang telah digembleng di RPAA banyak yang sudah digandeng oleh partai politik. Melalui berbagai upaya aktivis gerakan sosial dan gerakan perempuan diharapkan tidak ada lagi kabupaten yang tidak memiliki anggota DPRD perempuan (hasil Pemilu 2009, masih ada 2 kabupaten di Aceh yang 0 wakil perempuan). Ddisamping itu target keterpilihan perempuan ditingkatkan, bila tahun 2009 hanya 7%, harapannya pada Pemilu 2014 menjadi 10%.
Sumber Nursiti dan Samsidar (anggota Jaringan 231)
@UmiL
Leave a Reply