JEJAK JUANG DR. IRENE FERNANDEZ DI INDONESIA

irene in commemorationJEJAK JUANG DR. IRENE FERNANDEZ DI INDONESIA

ditulis oleh Tati Krisnawaty[i]

 Dr. Irene Fernandez, aktifis perempuan, aktifis lingkungan, aktifis HIV/Aids, pembela HAM dan buruh migran yang bersuara sangat lantang (vocal) baik di negaranya sendiri, Malaysia, maupun di luar Malaysia dan di berbagai forum regional dan internasional. Kaliber perjuangannya begitu besar, tidak salah jika ia menerima Right Livelihood Award, dan tidak mengherankan juga jika kematiannya pada tanggal 31 Maret 2014 merupakan hari berkabung bagi banyak orang di berbagai negara, termasuk Indonesia.

Seperti permata dengan banyak sisi, Irene Fernandez memantulkan berbagai dimensi yang berbinar-binar dalam keberadaannya sebagai pribadi, sebagai aktifis, sebagai pejuang. Salah satu sisi yang menonjol dari dirinya adalah sikap demokratis sejati; kesetaraan adalah keseharian. Hampir semua yang mengenalnya, tua atau muda, memanggilnya tanpa embel-embel, hanya nama kecil, Irene. Dia selalu tertawa (tanda penolakan halus) jika dipanggil dengan atribut madam/bunda yang sengaja atau tidak berimplikasi pada penciptaan hirarkhi dalam relasi.

Dalam kenyataan sehari-hari Irene adalah seorang ibu, ibu bagi tiga orang anak kandungnya dan bagi ribuan buruh migrant, termasuk dari Indonesia yang pernah mendapatkan perhatian, uluran tangan, perlindungan, dan pemikiran Irene dalam mencari jalan keluar atas persoalan mereka. Menjadi ibu bagi Irene adalah menjadi pencerah, pemikir kritis, pembuka jendela hati dan pendobrak pagar-pagar penyekat kesadaran akan keadilan dan kemanusiaan. Bersama Ibu Saparinah Sadli dan sejumlah aktifis perempuan senior di kawasan Asia Pasific, di tahun 1986, ibu pemikir ini mendirikan organisasi perempuan regional yang konsisten memperjuangkan hak-hak perempuan sampai sekarang: APWLD (the Asia Pacific Forum on Women, Law, and Development)

Jejak juang Irene meluas melintasi batas negaranya. Di Indonesia, kita bisa menelusuri jejaknya dari berbagai jalan perjuangan demokratisasi, penegakan hak-hak perempuan, dan buruh migrant. Saya ingin berbagi beberapa bagian yang saya kenali dari dekat.

 b Bebas dari Kungkungan Formalitas

Puluhan tahun yang lalu (sekitar akhir tahun 1989 atau awal tahun 1990), kami mendengar akan ada pertemuan regional gerakan perempuan Asia Pacifik di Jogyakarta. Lima orang aktifis perempuan muda (umur 24-29) dari Jakarta dengan kereta malam bermaksud menghadiri pertemuan itu, tetapi kami ditolak panitia setempat dengan alasan ruang pertemuan terbatas dan kami bukanlah tamu yang diundang.

Di tengah kekecewaan –setelah perjalanan jauh dari Jakarta– kami berpapasan dengan salah seorang peserta pertemuan berbaju sari (dan itu ternyata Irene Fernandez, waktu itu ia memegang posisi sebagai executive director APWLD), lalu kami bertanya padanya bisakah di sela-sela pertemuan, saat ada waktu luang, dia duduk bersama kami untuk bincang-bincang secara informal. Dia menyambut hangat permintaan kami, Jadilah perjalanan kami ke Jogja tidak sia-sia. Yang lebih menyenangkan, Irene berkenan memenuhi undangan mendadak kami untuk bicara lebih leluasa di Jakarta saat dia transit dari Jogya menuju Kualalumpur. Kami pinjam ruang Adam Malik kantor YLBHI untuk acara ini. Saya masih ingat topik yang dibahas hangat hari itu dengan Irene adalah: “development and patriarchal system” yang menjadi penghalang besar bagi penegakan hak asasi manusia. Irene adalah salah satu yang menguatakan inspirasi kami untuk mendirikan organisasi perempuan kritis di tengah kekuasaan rezim militer Orde Baru pengusung ideologi pembangunan. Kelahiran organisasi Solidaritas Perempuan tidak terlepas dari inspirasi yang disuburkan oleh Irene.

 b Cara pandang Holistic dan Aksi Konkrit

 Bagi Indonesia, tahun 1980-an adalah tahun-tahun puncak dari implementasi ideology pembangunan yang penuh dengan berbagai tidak kekerasan dan pelanggaran HAM. Eksploitasi alam besar-besaran, revolusi hijau, penggusuran, industrialisasi, buruh murah, mulainya pengiriman buruh perempuan ke luar negeri, pembungkaman suara, penghilangan paksa, dan manipulasi hak berorganisasi. Semua berlangsung atas nama pembangunan. Dalam konteks ini perempuan –terutama perempuan di pedesaan—mengalami berlapis-lapis penderitaan.

Irene adalah salah satu dari aktifis perempuan regional pada waktu itu yang memberikan teladan dalam membangun cara pandang yang menyeluruh atas` berbagai lapisan persoalan perempuan seraya melakukan aksi-aksi nyata untuk mengatasinya. Dia adalah feminist yang menganalisa berbagai elemen relasi penindasan, menggugat berbagai ruang dan bentuk ketidak adilan, serta membongkar kebohongan jargon jargon pembangunan tanpa kehilangan focus untuk melakukan aksi-aksi nyata seperti melakukan pendidikan penyadaran untuk konsumen, buruh, dan aktifis, menggalakkan kampanye anti penggunaan pestisida di pertanian dan perkebunan yang merusak alam dan membahayakan buruh serta konsumen; melakukan riset investigasi di rumah-rumah tahanan, mendampingi buruh migrant yang menggugat majikan dan mencari keadilan, serta membangun jaringan kerja regional serta internasional. Di banyak pertemuan regional sepanjang tahun 1990an hingga tahun 2000an yang kebetulan saya ikuti, Irene sering sekali menjadi tim perumus akhir yang mampu menampung berbagai persoalan dan gagasan; merumuskannya secara sistimatis; dan menegaskan sikap kritisnya dari perspektif keadilan gender dan HAM, seraya membangun semangat. Teladan Irene menyertai perjalanan yang ditempuh oleh aktifis perempuan di berbagai tempat, termasuk Indonesia.

 b “ALL OUT “ untuk pembelaan Buruh Migrant

 Irene amat dikenal sebagai pembela hak buruh migrant yang berdiri di garis depan. Dia memahami dan memberi tambahan energy yang berarti bagi perjuangan hak asasi buruh migrant di berbagai negara, terutama Bangladesh, Cambodia, India, Indonesia, Malaysia, Nepal, Pakistan, Philippines, Sri lanka, dan Vietnam. Buruh migrant Indonesia di Malaysia yang mengalami pelanggaran HAM dan para aktifis pembelanya berhubungan sangat erat dengan Irene. Ia bekerja secara total untuk masalah ini. Irene tak pernah sungkan untuk menghantam kebijakan dan peraturan di Malaysia yang jelas-jelas melanggar atau berpeluang dijadikan sebagai pembenaran bagi pelanggaran hak asasi buruh migrant, seperti MoU Indonesia Malaysia untuk masalah penempatan buruh migrant di Malaysia, atau kebijakan wajib tes HIV (mandatory testing) buat para buruh migrant yang akan bekerja di Indonesia. Irene juga tak segan-segan menghubungi agen penempatan buruh migrant, mengajak mereka berdialog, mengajukan usulan perbaikan system, atau mengkritik habis tindak kejahatan mereka. Jika ada buruh migrant Indonesia yang bermasalah di Malaysia, kantor Irene menyediakan shelter, Irene pun tangkas menghubungi lembaga yang dapat memperkuat upaya perlindungan buruh migrant yang diperjual belikan di Malaysia, seperti IOM; saat buruh migrant pulang ke Indonesia, Irene menyempatkan waktu untuk mengontak kawan-kawannya di Indonesia untuk memastikan bahwa buruh migrant tersebut selamat sampai di rumah dan menanyakan perkembangan penanganan kasusnya (contoh kasus Hayani).

Saya ingin menambahkan sedikit warna pada memory kita tentang perjuangan Irene yang luar biasa itu. Pada tahun 2001, bersama Irene dan Sharuna Verghis, kami meloby Arab Organization for Human Rights untuk menjalin kerjasama perlindungan hak-hak buruh migrant dari Asia di Arab region. Dalam lobby ini, situasi buruh migrant asal Indonesia di beberapa negara yang ada di kawasan Arab (seperti Saudi, Bahrain, Qatar, UEA, dan Jordan ) dipresentasikan untuk memberi gambaran betapa mendesaknya kerjasama antar organisasi hak asasi di kawasan Asia dan Arab. Kami memilih foto, kasus, dan kata-kata kunci bersama dengan cermat untuk membangun dialog yang konstruktif. Kami menyadari persoalan ini kompleks, kami menghindari penyederhanaan masalah, kami memilih jalan panjang untuk membangun pengetahuan, pengertian, kerjasama jangka panjang. Tahun 2005 Komnas Perempuan menindak lanjuti langkah ini dengan menyelenggarakan dialog antara organisasi-organisasi pembela HAM buruh Indonesia dengan aktifis-aktifis dari kawasan Arab (Libanon, Arab Saudi, Jordan) di Jakarta, Cirebon, dan Lombok Timur.

b ”The Jakarta Process” untuk buruh migrant yang paling rentan

Jejak Irene Fernandez juga dapat kita temukan pada dokumen yang dipublikasikan oleh Komnas Perempuan berkaitan dengan Jakarta Process, yaitu proses membangun system perlindungan bagi buruh migrant yang paling rentan (PRT dan migrant tak berdokumen). Proses ini melibatkan organisasi masyarakat sipil, srikat buruh migrant, lembaga–lembaga HAM nasional dari 8 negara di Asia, dimana Pelapor Khusus PBB untuk Hak Asasi Migran, Kantor Komisi Tinggi pada Hak Asasi Manusia Asia Tenggara (OCHR-South East Asia), dan Organisasi Internasional untuk Migrasi ( IOM-Jakarta office) berpartisipasi secara aktif. Atas nama organisasi Tenaganita Malaysia, Irene bersama dengan Lembaga Nasional Hak Asasi Manusia Sri Lanka , Asosiasi Buruh Migran Indonesia (SBMI) , Migrant Forum Asia (MFA) , APWLD , dan ASEAN Task Force on Migran Workers, dan Komnas Perempuan menjadi Kelompok Inti (Core Group) yang menindak lanjuti rekomendasi dari pertemuan regional (Juli 2006 di Jakarta) yang mencetuskan Jakarta Process. Dua dokumen penting dari Jakarta Process adalah: (1) appeal to the UN High-level Dialogue on Migration and Development, New York, 14-15 September 2006, dan (2) laporan penelitian tentang peran Komnas HAM di beberapa negara di Asia untuk perlindungan buruh migrant tak berdokumen dan PRT

 b Cha cha cha… Rayakan Perjuangan Kita

 Meskipun Irene selalu serius, teliti, dan komprehensif dalam bekerja memperjuangkan HAM, ia tidak pernah kehilangan kehangatan. Di acara-acara malam solidaritas, setelah tiga empat hari workshop regional yang padat di tahun 1990an Irene selalu menari cha cha cha dengan gemulai, dan lamaaaa…. hampir di sepanjang music mengalun. Sambil menarik tangan aktifis aktifis yang tak beranjak dari kursi, Irene merayu: “come on… let’s dance… celebrating our struggle with the movement of our body…. “ (ayo menari, rayakan semangat kita dengan gerakan badan)… cha cha cha … one two three – cha cha cha….” .

Terima kasih Irene, saya, kami, telah belajar darimu tentang perjuangan tanpa batas, tentang berfikir luas, sikap kritis, dan sekaligus tentang kerja nyata di akar rumput yang disertai dengan persahabatan tulus, kesetaraan sejati, keseimbangan, dan tarian untuk merayakannya)… cha cha cha … one two three – cha cha cha… Tubuh Irene kini beristirahat panjang…. tetapi semangat Irene tetap hidup bersama kita… Hidup dan menari-nari merayakan kesadaran, perjuangan, dan perjalanan panjang perjuangan perempuan, perjuangan aktrifis HAM, dan perjuangan buruh migrant … cha cha cha … one two three – cha cha cha… d(Jakarta, 3 April 2014)

 [i]Pendiri Solidaritas Perempuan, Commissioner Komnas Perempuan (1998-2006), board member AJAR, salah satu teman Irene Fernandez di Indonesia

 

tulisan tentang pengaruh Irene Fernandez bagi gerakan perempuan di Indonesia antara lain dapat dilihat http://sosok.kompasiana.com/2014/04/03/irene-fernandez-sosok-penuh-integritas-dari-malaysia–646321.html  peringatan dan mengenang Irene Fernandez sebagai pahlawan dilakukan di berbagai negara di dunia http://www.hrw.org/news/2014/03/31/tribute-irene-fernandez dan http://globalvoicesonline.org/2014/04/03/tribute-to-malaysian-activist-irene-fernandez/

 

Advertisement

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Blog at WordPress.com.

Up ↑

%d bloggers like this: