Membaca novel adalah pengembaraan visual yang dibantu teks, kata-kata pemomongnya, yaitu penulis novel. Sebagai feminis, saya suka membaca novel karya perempuan, terutama yang jelas tuturan visualisasi dengan deskriptif dan narasi yang penuh rasa emosi. Termasuk novel Sapaan Sang Giri (SSG). Tak banyak novel perempuan Indonesia yang saya baca akhir-akhir ini, malahan baru baru ini baca novel jadul Chandrakirana karya Ajip Rosidi.
Novel Sapaan Sang Giri (SSG) ini merupakan karya debut Isna Marifa. Saya merekomendasikan perempuan yang suka dengan novel berbahasa puitis, dan narasi indah mendeskripsi lingkungan alam yang penuh imaji visual, dan tentunya bercerita juga tentang kekayaan pengalaman perempuan dalam kehidupan domestik, terisolasi.
Novel SSG bercerita tentang pengalaman orang-orang yang dengan narasinya: yang harus pergi jauh meninggalkan daerah asal karena dijual sebagai budak Parto dan Wulan, dan orang-orang yang ditinggalkannya ayah Parto, Wage, yang juga menarasikan istrinya Sulastri. Novel ini dominan narasi perempuan, selain Wulan yang mendapat tempat 11 kali bercerita, perempuan sendiri merupakan konsep. Sama seperti ibu, perempuan adalah kata kerja.
Novel Sapaan Sang Giri (SSG) ini merupakan karya debut Isna Marifa. Saya merekomendasikan perempuan yang suka dengan novel berbahasa puitis, dan narasi indah mendeskripsi lingkungan alam yang penuh imaji visual, dan tentunya bercerita juga tentang kekayaan pengalaman perempuan dalam kehidupan domestik, terisolasi.
Peristiwa perbudakan digambarkan terjadi pada abad ke 18 di tanah Jawa, ketika seorang kehilangan kekuasaan atas dirinya karena jerat lintah darat, seakan alam turut andil mengkondisikannya dengan banjir yang jadi penyebab tak ada panen.
Perjalanan bapak dan anak dibuka oleh suara hati Wulan. Parto sebagai budak, dan Wulan anaknya yang ikut sejak usia 10 tahun, dan yang harus bertahan hidup di kapal laut selama berbulan-bulan, untuk tiba di Afrika Selatan. Banyak yang tidak selamat didalam perjalanan meninggal dunia, diantaranya Yu Mirah, suaminya sakit di dalam perjalanan dan dibuang ke laut, yang trauma sehingga tak banyak bicara. Novel ini bisa dibilang berani, karena bagi Anda yang berharap sesuatu yang happy ending akan nyesek, bagaimana menjemput ajalnya dipaparkan secara sederhana. Sebagai penggemar cerita happy ending, saya harusnya tidak suka, tapi karena balutan kental budaya asli Nuswantara, dan bagaimana rasionalitas kekerasan terhadap perempuan ditampilkan dengan halus, saya benar merekomendasi ini. Di akhir novel memang agak melambat… karena anti klimak.
Narasi Perempuan
Tertarik membaca karena judulnya, kata-kata Giri, yang dalam bahasa Sangsekerta berarti Gunung. Sapaan Sang Giri memulai ceritanya kalimat-kalimat prosa dari Wulan, yang sedang dalam perjalanan di kapal laut. Bayangan imaji desa yang indah hingga air bah menghentikan tawa. Membaca novel ini asyiknya, walaupun berbeda dan berbagai perspektif, kita akan memahami masing-masing cerita yang dicurahkan tokohnya, juga tentang tokoh lain di alur kisah.
Wulan dan Parto sebagai tokoh utama yang harus pergi ke Afrika Selatan sebagai budak belanda bernama Baas. Parto bukan budak biasa, ia masih merasa lebih beruntung, karena memiliki keahlian sebagai tukang kayu, juga mengukir. Sejak ketibaannya di Afrika sebagai hingga akhirnya pada suatu masa berpindah dari perkebunan Baas dan tinggal dengan cucunya, hingga menjelang ajal kerinduan pada tanah Jawa tak pernah berhenti.
Sejarawan yang ingin menggali peristiwa masalalu pasti akan tertarik membaca SSG terutama yang tertarik pada peristiwa orang biasa bukan tokoh terkenal atau elit politik. Fakta perbudakan ditampilkan secara tuturan yang runut dan rapi. Dimana Anda bisa “menyaksikan” jual beli dan transaksi perbudakan. Bagaimana kondisi budak. Bagaimana pembeli. Bahwa orang Jawa dapat menjadi budak, bahkan aristokrat dapat menjadi tidak bebas (meskipun bukan budak). Realitas ketidakbebasan tak hanya terjadi pada budak. Mereka yang melawan pemerintah kolonial akan menemui risiko dipenjara, dibuang jauh ke negeri seberang. Itu pun ketika akhirnya bebas sebagai budak pembuktiannya harus dengan surat berbahasa belanda.
Buku ini memaparkan hubungan antara sesama manusia yang terperangkap dalam perbudakan dan harus tinggal bersama di kebun, Parto, Wulan, Bu Ning, Diman, Ahmad, Bejo, Nengah, Yu Mirah orang Jawa yang bercampur dengan Koki dari Bengal, pekerja dari Afrika, Reen anak perempuan dari suku Khoikhoi teman bermain Wulan, orang belanda pemilik budak, pembeli budak, pengawas Kneckt, perempuan belanda istri Baas anak belanda Olivia dan Mary, yang semuanya saling berkelindan dalam penyatuan dan kertepisahan yang hampir serentak, karena kendala bahasa. Tempat ini dikenal dengan Tanjung Harapan (kini CapeTown).
Perbudakan adalah anak kolonialisme. Melebihi penindasan manusia atas manusia lain. Budak bukan manusia dia adalah barang yang bisa dipakai, dijual belikan oleh Pemiliknya. Di perkebunan apapun bisa terjadi pada budak, tak ada hukum yang melindunginya. Di dalam kisah SSG kita akan menemukan terjadinya modul kekerasan seksual, khususnya eksploitasi seksual. Dimana dalam RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual, Eksploitasi Seksual[*]
Pengalaman perempuan sangat nyata digambarkan oleh Wulan. Sebagai anak usia 10 tahun, Ibu meninggal maka kehidupannya ditentukan oleh orang dewasa. Ikutlah ke Afrika. Di dalam kapal ada perempuan Jawa Bu Ning, juga berangkat sebagai budak. Kesehariannya sebagai perempuan Jawa menjalankan tradisi kejawen dipaparkan Wulan, dengan indah “Nduk kembang kenanga mengingatkan kita supaya mencari kearifan leluhur, dan menghargai warisan mereka. Walaupun kita jauh dari leluhur, Wulan kamu harus selalu mengingat cara-cara mereka” . Disinilah penyelaman penulis untuk menjadikan penting pengalaman perempuan yang dari jaman ke jaman taken for granted. Semua pengalaman Wulan dari masih anak-anak hingga dewasa menikah dan melahirkan penting, dan dengan renyahnya Wulan bertutur ketika belajar bekerja:
”Yu Mirah…
Dia ajarkan aku lipat serbet kain,
usap pisau garpu perak sampai berkilap…
agar isti Baas tidak membentak,
Dan terpenting ajarannya.
Bagaimana kerja tanpa sedikit pun bersuara.
Bak hantu gentayangan.”
Kehidupan Wulan dari remaja digambarkan melalui perlakuan dari Bu Ning. Secara pribadi pun dia mengalami perubahan reaksi atas sikap dari perhatian pekerja musiman perkebunan laki-laki dari Afrika Barat, Afdei laki-laki yang suka bersain gendang.
Alur selanjutnya yang menjadi bagian kehidupan perempuan sehari-hari digambarkan dari pengobatan herbal untuk mengobati Wulan yang batuk karena musim dingin. Bu Ning diajari membuat ramuan obat herbal dari rebusan tanam-tanaman, pembuatannya oleh ibunda Reen, anak suku asli Khoikhoi, yang menjadi teman Wulan. Lalu Wulan hamil dari eksploitasi seksual, lahir anak Abimanyu, anak yang tak terlalu diharapkan, sempat coba dibuang namun gagal. Namun anak itu melindunginya dari pelaku kekerasan. Menikah dengan lalu hamil. Kehamilan kedua perempuan, dinamainya Restu, buah pernikahan dengan Ahmad orang Jawa di perkebunan. Wulau juga memaparkan tanda yang biasa dirasakan ibu hamil bila anak yang dikandungannya perempuan, makan di perutnya tak terlalu dirasa banyak gerak, tak terlalu banyak makan (rakus kalau ibu-ibu menyebutnya), dan si ibu suka berdandan, rapi. Sementara anak yang dikandung laki-laki berbeda. Diantara siklus hidup itu semua, Bu Ning hadir dengan tradisi Jawanya. Nujubulanan, kembang setaman dan menyan. Walau jauh di Afrika sana, lantunan tembang macapat menjadi bagian Wulan.
Kampung Halaman dan Jalan Hidup Manusia
Sapaan Sang Giri adalah kisah keluarga Wage Wage di Jawa, dan anaknya Parto dan Wulan cucunya di Afrika, dalam rentang tahun 1751-1791. Suara para tokoh yang secara umum penuh kepedihan dan keprihatinan. Kerinduan pada kampung halaman. Jelas disampaikan ketika baru tiba, Wulan sudah minta pulang. Namun ada juga kegembiraan budak-budak Jawa di perkebunan ini. Ketika tradisi pernikahan dilaksanakan di tanah Afrika. Makanan, tatacara adat istiadat menjelang nikah, serasa di tanah Jawa.
Namun di tanah Jawa, yang ditinggalkan kekelaman lebih dalam. Dari Wage kita membaca penantian dan harapan anak dan cucunya pulang kampung dinantikan selalu. Bahkan diadakan doa dan kenduri. Tak ada hasil, tak jua ada pedati tiba. Bahkan pembaca akan terenyuh lebih dalam dengan kepergian nenek Wulan, Sulastri.
Secara garis besar novel ini merengkuh nilai Jawa dalam kehidupan dimanapun, Nrimo, Ikhlas. Terutama ketika sudah terjadi. Sehingga Parto pun akhirnya menerima gunung batu layaknya Gunung-gunung di Jawa. Rasa syukur selalu ada, bahkan ketika pada akhirnya harus kehilangan orang-orang kinasih. Tulisan ini tak bermaksud memberikan spoiler bagi pembaca. Secara struktur kisahnya rapi terjalin. Ada jalan yang tidak diketahui manusia, ada kehilangan, lalu kembali bertemu dalam keterlambatan. Ada sisipan kisah politik perpecahan ningrat Jawa saat pembagian keraton Surakarta dan Yogyakarta, ningrat dari berbagai wilayah Nusantara yang yang dibuang ke Afrika. Ada kesetiaan doa, ada rebound. Yang pasti novel ini berani, berani mematikan tokoh utamanya tanpa kita sedih larun dalam kedukaan mendalam. Novel ini adalah novel menceritakan nilai kemanusiaan, yang universal dan yang personal. Universal manakala diantara manusai berbeda bangsa, suku adat istiadat dapat hidup dalam harmoni kebersamaan. Personal kita mendapati segala rasa, meski yang terkuat adalah penyesalan, semua tokohnya.
[*] Ekspoitasi Seksual: Eksploitasi seksual adalah tindakan seseorang yang memiliki kekuasaan dan/atau posisi terhadap akses, kontrol, manfaat terhadap sumber daya, menggunakan kekuasaan dan/atau posisinya tersebut untuk melakukan tindakan seksual dengan seseorang yang tidak memiliki kekuasaan atau yang bergantung padanya untuk mendapatkan sumberdaya, atau semata-mata untuk keuntungan/pemenuhan seksual pelaku. (JKP3 Jaringan Kerja Prolegnas Pro Perempuan)
Leave a Reply