Pelarangan Akses Perempuan dalam Seni Budaya: Melawan Ibu Pertiwi

Pelarangan Akses Perempuan dalam Seni Budaya: Melawan Ibu Pertiwi

Pelarangan akses perempuan terhadap aktivitas seni budaya tidak hanya terjadi di Indonesia. Akses perempuan dilarang untuk mengekspresikan diri melalui seni budaya: musik, tari, rupa dan olahraga. Pelarangan yang terjadi pada masa kini umumnya berbeda dengan realitas sejarahnya. Artinya pada masa lalu, perempuan tak memiliki larangan atas jenis kesenian tersebut.

Di India perempuan dilarang menjadi make up artist juru rias, dimana dalam hal berorganisasi profesi, Petitioner Charu Khurana in 2013 challenged the gender bias in the Cine Costume and Make Up Artists Association (CCMAA) bahwa hanya laki-laki yang boleh menjadi make up artist.  Tahun 2014 Mahkamah Agung India mencabut larangan tersebut, juga mencabut kewajiban sudah menjalani profesi 5 tahun di India.

Bunga Dessri bersama Rebab pentas tugas akhir prodi Karawitan.

Di Jepang, perempuan dilarang bermain teater Kabuki abad ke 17, padahal mulanya teater ini diinisiasi perempuan Onni. Hingga kini perempuan yang bermain teater kabuki pun minim.

Di Spanyol Abad 16 perempuan dilarang berteater, namun karena peran perempuan harus dilakukan oleh laki-laki, Gereja menganggap itu lebih immoral akhirnya perempuan dibolehkan. Sedangkan di Inggris  perempuan   baru boleh naik panggung teater setelah 1660 perempuan itupun masih harus memakai topeng.

Di atas hanya sebagian contoh dari pengabaian hak perempuan atas akses berkesenian. Baru-baru ini saya mengikuti diskusi Komponis perempuan tentang yang memaparkan pelarangan akses perempuan pada instrumen musik tradisional  Tifa di Papua dan Rebab sunda di Jawa Barat.

Akses Instrumen Musik

Di Jawa Barat kita akan jarang sekali menemukan perempuan memainkan rebab. Tak ada larangan resmi baik secara adat pakem tradisional maupun modern yang memantangkan perempuan bermain rebab. Karena tahun 1970an telah ada perempuan pemain rebab, yaitu  perempuan asal kabupaten Subang yang biasa disapa Abu, yang berprofesi sebagai juru rebab di tahun 1970-an. Kemudian Hj. Siti Rokayah dan Yoyoh Suprihatin yang merupakan seniman multitalenta yakni mahir menyanyi dan memainkan berbagai alat musik. [i]Penelesuran lebih lanjut ke masalalu pastinya dapat dilakukan tentang fakta adanya perempuan pemain rebab. Adapun kondisi kekinian dipengaruhi tidak hanya nilai patriarki yang kokoh menempatkan kekuasaan laki-laki segala bidang kehidupan termasuk seni budaya.  

Tentu diketahui bersama bahwa pemain juru rebab yang mendapat tempat terhormat dalam panggung pertunjukkan adalah laki-laki. Juru rebab dianggap sebagai pimpinan dalam pertunjukkan sehingga dianggap tidak mungkin perempuan menjadi juru rebab. Tentunya ini melawan fakta dan kenyataan bahwa perempuan di Indonesia atau Nusantara purba memiliki kedudukan yang sama di lingkup publik. Perempuan  dapat memimpin negara besar menjadi Maharatu, dengan kekuasaan luas sebagaimana Maharaja. Bukankah Negara Atlantis yang tersohor itu dipimpin oleh seorang Maharatu? Adapun bukti mengenai perempuan memainkan alat musik pada masalalu dapat dilihat dalam relief candi Borobudur dimana pada panel candi terdapat 40 alat musik termasuk jenis perkusi, tiup dan petik dapat dilihat di https://www.youtube.com/watch?v=LQ-NHeUmFgM

Bahwa ada kenyataan tertutupnya akses perempuan pada alat musik tertentu seperti rebab dapat dipastikan bukanlah suatu yang asli dari kesejatian negeri Nusantara yang memuliakan perempuan. Sejak kapan perempuan termarjinalisasi diberbagai lini kehidupan ini tentu dapat ditelusuri dalam konteks kekuasaan yang mengadopsi ajaran bukan asli.

Tanpa berlarut membahas politik kekuasaan dan keterbatasan perempuan dalam berkesenian, dalam diskusi yang saya ikuti di atas juga menampilkan bukti bahwa perkusi jenis Tifa di papua pun dimainkan oleh perempuan, khususnya di wilayah kabupaten Mappi (kini Provinsi Papua Selatan), juga di Biak perempuan dapat memainkan Tifa di muka publik. Padahal dibeberapa wilayah masih dilarang dan dianggap sebagai larangan yang turun temurun sebagaimana yang terjadi di Maluku. Meskipun begitu fakta bahwa perempuan memainkan alat musik Tifa di Papua masih terus mendapat penolakan, terutama lagi-lagi karena masih minim informasi tentang praktek musik Tifa oleh perempuan.

Sehingga apa yang dibutuhkan sekarang tak sekedar berwacana bahwa ketabuan (pelarangan akses) perempuan memainkan alat music instrumen tertentu sering tak beralasan tak lain semata karena masih jarangnya perempuan memainkan alat music tersebut, dan tentu untuk beberapa kondisi hidup, perempuan dianggap tak akan “awet”  atau tekun dan sampai lama memainkan alat musik tertentu. Hal ini  karena peran gender yang dilekatkan oleh masyarakat, peran domestik menghalangi akses tersebut. Bahwa tak usahlah perempuan berlama-lama belajar alat musik, nanti kalau sudah mahir juga tak akan lanjut karena ikut suami, hamil dan mengurus anak dsb. Sebagaimana yang pernah dialami oleh Bunga Dessri saat hendak belajar rebab dari sesepuh pemain Rebab yang menolak mengajarinya dengan alasan karena Bunga Dessri seorang perempuan, “Perempuan jangan belajar memainkan rebab. Laki-laki saja sudah susah, belajar memainkan rebab bisa bertahun-tahun, apalagi perempuan, akan sulit, tidak akan berhasil”.  Namun hal itu terbantahkan dengan lulusnya ujian Rebab dari Bunga Dessri N yang pada 1tahun 2016 melantunkan lagu Cianjuran sebagai ujian akhir yang terbuka untuk umum dengan penonton membludak. Tak hanya itu, Bunga Dessri memainkan rebab  music Cianjuran selama 25 menit didampingi 2 laki-laki pemain kecapi sebagai konser kelulusan prodi Karawitan Fakultas Seni Pertunjukkan ISBI Bandung (dapat dilihat di akun youtube-nya). Pembuktian bahwa perempuan dapat menjadi seniman musik dan memainkan alat musik yang sebelumnya dianggap ditabukan…dan tentu dapat pula memainkan alat musik tradisional lainnya.

sumber: antaranews.com

Penutup

Keterbatasan jumlah perempuan dalam segala jenis profesi publik (komersil dapat menghasilkan uang) bukanlah hal terberi, bukan kesejatian Nusantara. Banyak hal yang “ditabukan” semata tanpa alasan yang jelas. Bahkan hingga tahun kini pun masih banyak orang yang menganggap keris sebagai senjata maupun pusaka  hanya untuk laki-laki saja, padahal untuk kalangan perempuan pun ada keris pusaka maupun senjata dengan nama dan bentuk tersendiri. Apabila ada larangan atau tabu pada sesuatu akses karya atau produk budaya biasanya ada penjelasan ilmiah maupun metafisik…Sudah saatnya eksistensi perempuan sebagai manusia adalah sama mulia, buwana balik dari buwana sungsang yang panjang. @umilasminah


[i] “Peforma Perempuan sebagai Juru Rebab dalam Karawitan Sunda”  Caca Sopandia dan Bunga Dessri Nur Ghaliyah : Paraguna, 2020

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Blog at WordPress.com.

Up ↑

%d bloggers like this: