REPRODUKSI KEKERASAN
Reproduksi Kekerasan Semakin Biasa, Semakin Menyuburkan Ketakutan
Tak tahan menyaksikan adegan perkosaan, teman saya keluar meninggalkan ruang pertunjukkan teater yang baru ditontonnya selama kurang lebih 20 menit. Kejadiannya beberapa minggu lalu, di bulan Februari di Graha Bakti Budaya Taman Ismail Marzuki. “Adegan perkosaannya vulgar, kayak baca berita perkosaan di koran kriminal”, kata temanku lagi, ia menyebutkan salah satu surat kabar ternama yang biasa menceritakan berita kekerasan dan kriminal. Tiket yang dibeli seharga 15 ribu tak ada lagi artinya. Ia tak bisa menikmati, apalagi mengapresiasi pertunjukkan teater itu.
Itu sekedar ilustrasi saja, tulisan ini tak bermaksud mengkritik pertunjukkan yang ditampilkan saat itu, maupun harga tiketnya. Tapi menggali lebih jauh bagaimana kekerasan, dalam tindakan dan prilaku telah mewabah, hingga mulai dianggap wajar. Padahal pertunjukkan teater “Perempuan di Titik Nol” 20-21 April 2002 di Jakarta, yang diangkat dari novel Nawal El Saadawi untuk judul sama, isinya sarat kekerasan, pertunjukkannya mampu meminimalisir reproduksi kekerasan itu, dengan adaptasi menjadi tarian.
Media Mereproduksi Kekerasan
Cerita teman di atas mengilustrasikan bagaimana kekerasan yang direproduksi di atas panggung ditolak untuk dinikmati. Tapi berapa banyak yang berkesadaran untuk melakukan penolakan itu. Saya memakai istilah reproduksi disini untuk mengganti istilah dari tiruan-tiruan tindakan yang ada dalam realitas. Dan media seni merupakan salah satu media yang paling sering mereproduksi, apakah melalui film, lukisan, maupun dalam seni pertunjukkan teater. Kekerasan sebagai reproduksi maskulin.
Berhubung dunia media masih dalam kelola dan kuasa nilai-nilai maskulin, hal ini membuat reproduksinya pun melahirkan nilai-nilai itu, kekerasan. Meskipun maskulin di sini masih streotipe laki-laki, pada kenyataannya stereotipe ini terus saja menguat dan semakin memantapkan posisinya untuk selalu dilekatkan pada jenis kelamin laki-laki. Kita mungkin bisa menilainya dari semakin menguatnya olah raga dengan nuansa ‘kekerasan’ dimana yang kuat yang menang. Dimulai dari acara World Wrestling Federation (gulat), dengan acara Ring Tinju RCTI, lalu acara serupa SCTV, dan Indosiar, hingga kick boxing dan seterusnya. Padahal sudah 9 petinju mati di ring tinju selama 13 tahun terakhir (Media Indonesia 6 Februari 2003). Itu baru ajang olah raga, dan untuk menjadi konsumsi media elektronik (pemirsa televisi), di media lain seperti internet surat kabar dan radio masih banyak lagi. Seperti halnya media seni, wahana media massa juga merupakan mereproduksi kekerasan, bahkan hampir mendekati nyata, bila tidak disebut sebagai ilusi.
Fenomena reproduksi kekerasan di media, mulai dari acara-acara olah raga, berita, film feature, hingga film dokumenter akan terus kita lihat entah sampai kapan. Dibandingkan dengan ratusan tahun lalu, manakala peperangan, maupun bentuk kekerasan lainnya tak banyak direproduksi. Kekerasan sekarang begitu merajalela, Joan Smith dalam bukunya Mysoginies, menyatakan ” we are more used to violence than we were twenty years ago; crimes which would have made headlines then now so frequent…” Dibandingkan masa lalu, saat kehidupan barbarian, jaman peperangan Yunani dan Roma, atau perang antar suku, kerajaan, dan klan terjadi, kekerasan memang ada, riil, tapi reproduksinya tak pernah massal seperti sekarang. Bentuk-bentuk kekerasan atau kebiadabannya paling tidak terlokalisir disuatu lokasi. Waktu itu belum ada media yang mendokumentasikan serta memudahkan penyebaran reproduksinya. Kalaupun ada, itu masih merupakan kenangan yang masih segar dan sempat digambarkan dalam artifak, bukan untuk konsumsi yang bersifat massif apalagi diperdagangkan atau diperjual belikan jangankan untuk kesenangan adrenalin.
Media lalu diperalat sebagai alat teror, untuk keuntungan politis dan ekonomi. Propaganda untuk menakut-nakuti. Secara tak sadar efek pemberitaan menyebabkan ketakutan. Lihat saja, siaran langsung proses pengeboman menara kembar WTC. Siapa pun teroris itu, tahu betul CNN akan meliputnya, dan menyebarkan ke seluruh dunia peristiwa itu. Runtuhnya bangunan berlantai ratusan dengan manusia di dalamnya, disaksikan jutaan manusia, menjadi tontonan, layaknya film-film hollywood.
Seakan kita tak menyadari berita-berita tentang tindak kekerasan secara sengaja dibuat pelaku untuk mencari perhatian, untuk menakuti-nakuti atau untuk mengancam. Ketakutan yang akhirnya melanda masyarakat Amerika Serikat, lalu masyarakat dunia, usai terjadinya Tragedi 11 September 2001. Polarisasi kekerasan menyebar dalam wujud ketakutan, mampu mengalahkan cinta, bahkan melahirkan kekerasan dengan bobot yang lebih tinggi lagi, perang. Perang terhadap Afganistan.
Lahirlah kebijakan-kebijakan yang dilandasi ketakutan, undang-undang (Perpu No.1/2001 tentang Kejahatan Terorisme), peraturan, atau institusi formal dan non formal sah dan tidak sah. Juga fasilitas pelampiasan lainnya, baik yang berbentuk olah raga maupun hiburan pemuas adrenalin. Tanpa maksud mempolemikkan tinju sebagai olah raga, yang pada realitasnya tinju telah diakui oleh lembaga internasional sebagai olah raga. Tetapi memasyarakatkan streotipe untuk keuntungan komersial, tanpa bisa mengukur kontribusinya kepada masyarakat umum, rasanya perlu juga dipertimbangkan ulang.
Semakin dalamnya kemerosotan penghargaan hakiki atas kehidupan dan kemanusiaan telah menyebabkan media massa pun mereproduksi kekerasan, menjual kematian. Media populer (televisi, koran, majalah) melakukan yang biasa disebut Bad news is good news (menjual berita), dan media seni (pertunjukkan teater, film, dan seni rupa) sebagai wahana reproduksi realitas ternyata tak jauh berbeda. Padahal selayaknya media dengan kemampuan menyentuh khalayak dan memberi inspirasi bisa saja memilih untuk memberitakan secara manusiawi, informatif, tanpa menyembunyikan sesuatu, atau menahan informasi untuk tujuan hakiki kehidupan dan kemanusiaan.
Kekerasan dan ketakutan semakin nyata di depan mata. Di Amerika Serikat ketakutan akan senjata biologis memuncak, menyebabkan orang tergopoh-gopoh membeli terpal untuk menutupi atap rumah mereka, bila Amerika Serikat dan sekutunya menyerang Irak, akan ada balasan balik kepada negara mereka. Violence makes violence.
Cinta, Menjauhkan Ketakutan dan Kekerasan
Masih ingat kisah Sumanto yang memakan mayat untuk tujuan menambah kesaktian. Semua stasiun televisi memuat kisahnya. Kisahnya ditonton banyak pemirsa, tak kurang dari itu, dia pun di wawancara, media mencoba memuaskan keingintahuan khalayak pembaca, mengapa ia melakukan itu, benarkah terpuaskan? Tak bisa diukur tentu saja, tetapi pelajaran apa yang telah didapat dari pemirsa, pembaca mengenai tindakan Sumanto. Kegilaan? Kekerasan? Tak ada yang secara lugas memberikan pencerahan dan jalan kebijaksanaan mengenai peristiwa tersebut. Ada kebuntuan untuk memahami yang terjadi, seakan tindak manusia sudah mencapai titik nadir nekrofilia (hasrat untuk merusak yang hidup dan ketertarikan terhadap sesuatu yang telah mati, rusak dan murni mekanik), seperti Eric Fromm nyatakan dalam bukunya The Anatomy of Human Destructiveness (terjemahan Indonesia, Akar Kekerasan) . Eric Fromm lebih jauh menjelaskan fenomena kekinian dimasyarakat ”menurunnya kepekaan terhadap kedestruktifan dan kekejaman” karena orang begitu tertarik pada sesuatu yang tak bernyawa—bukan hanya Sumanto sebagai pemakan mayat. Tetapi fenomena nekrofilia yang nampak didepan mata, saat obsesi destruksi, kekejaman dan perang dinyatakan sebagai suatu hak (Amerika Serikat ke Iraq). Lagi-lagi di sini media massa telah mereproduksi hasrat itu, karena hasrat melawan destruktif dengan sesuatu yang destruktif lagi pun lahir. Seperti kata Karlina Leksono dalam orasi kebudayaan di Jakarta, “kekerasan itu bersifat mimetik berkecendrungan meniru, sehingga bisa bersifat massal.” Dan seringkali kekerasan lahir dari ketakutan, orang yang paling sering melakukan ketakutan biasanya adalah orang yang paling merasa tidak aman, terutama atas kepemilikannya.
Ketakutan hanya mendekatkan kepada kematian, atau ia hidup tapi mati. Hanya ada satu yang mungkin bisa mengalahkan ketakutan, yaitu cinta. Dengan cinta orang menjadi hidup, mencintai hidup, dan ingin selalu menjalankan kewajiban hidup, yaitu memelihara, menjaga, membagi dan menyayangi semesta dan isinya. Tapi mengapa dari sekian banyak media untuk konsumsi massal, sedikit sekali mengedepankan hal tersebut. Padahal, media sebagai pembawa berita, sebagai wahana reproduksi realitas bisa tidak mengabaikan cinta. Karena cinta juga realitas yang tak pernah bisa dipungkiri. Dan juga menjual. Adahal hal yang juga kontrakdiksi manakala cinta bisa begitu populer, begitu disukai, bisa jadi karena ia memberi harapan, memberi harapan positif dari hidup.
Kita lihat saja, dari sekian banyak produk film box office, lagu-lagu hits, serta sinetron dan cerita-cerita novel laris selalu ada cinta di dalamnya. Namun bukan sekedar karena ada cinta, lalu produk itu menjadi populer, tetapi karena cinta adalah realitas, dan hanya dengan realitas manusia bisa melekatkan diri atau bercermin pada produk itu dan menjadikan bagian dari dirinya. Itulah sebabnya, dibandingkan mencintai hewan atau tumbuhan, saya lebih memillih mencintai manusia, karena dia paling membutuhkan. Tanpa cinta manusia bisa menjadi destruktif, tak heran ajaran agama mana pun mengajarkan untuk mencintai. Barangkali karena cinta pun dianggap sebagai streotipe perempuan, ia dianggap lemah, dan kekuatannya tak mampu menghapus kebencian dan ketakutan, apalagi masuk ke dalam bentuk-bentuk formal. Tapi kepercayaan pada cinta tak pernah melemah. Lihat saja harapan, mimpi dalam kesadaran, orang berupaya mencegah perang atas Irak terjadi. Demonstrasi jutaan orang di berbagai belahan dunia, aksi memblokir telpon ke Gedung Putih Washington, Amerika Serikat untuk mencegah perang. Karena dalam kesadaran kemanusiaan yang hakiki, manusia selalu memilih cinta (damai), bukan ketakutan (perang). (Umi Lasmina, feminis, Pencinta musik dan astrologi)