Menolak Demokrasi Liberal

Sejak Negara Indonesia berdiri 17 Agustus 1945, dengan Pancasila sebagai Dasar Negara, yang tercantum didalam Pembukaan UUD 1945, sejak itu pula Indonesia menentukan DEMOKRASINYA, yaitu Demokrasi Pancasila.

Demokrasi yang dipimpin oleh Hikmah Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan dan Perwakilan (Pancasila sila ke 4), dan bukan Demokrasi Liberal.

Perbedaan Demokrasi Pancasila dan Demokrassi eiberal adalah pada kolektifitas dan individualitas. Pada Demokrasi Pancasila, dengan mengedepankan Permusyawaratan dan Perwakilan, mengedepankan bahwa keterwakilan adalah bagian penting dan permusyawaratan adalah cara untuk mencapai tujuan Bersama Kebijaksanaan. Sehingga di dalam Demokrasi Pancasila suatu organisasi perwakilan adalah perwakilan yang membawa nilai kolektif untuk berjuang bagi Kebijaksanaan. Maka dalam bentuk perwakilan suatu organisasi, suatu wadah kelompok adalah hal utama. Pada titik ini, suatu wadah yang menjembatani kepentingan para individu/rakyat.

Demokrasi liberal mengutamakan individualitas. Bagi demokrasi liberal yang terpenting adalah bagaimana individu manusia dapat menjadi memenuhi tuntutannya, baik itu kebutuhan maupun yang bersifat komplementer , bahkan apabila hal tersebut bertentangan dengan kebutuhan dan kepentingan publik. Hal ini dapat dilihat dari cara-cara yang diperjuangkan oleh individu untuk menjadikan dirinya pemimpin/kepala daerah, atau menjadikan dirinya sebagai berhak untuk mencapai posisi tertentu (tanpa peduli cara/metodenya) untuk mencapai tujuan (misalnya menjadi anggota DPRRI).

Kerusakan Indonesia karena Demokrasi Liberal

Perubahan UUD 1945 yang disponsori oleh Amerika Serikat membuat Indonesia kini menganut Demokrasi Liberal.

Dimulai dengan mengubah KETIADAAN KEDAULATAN RAKYAT dalam SATU LEMBAGA TERTINGGI NEGARA, UUD 1945 pasal

1.Ayat 2. Kedaulatan adalah di tangan rakyat, dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat.

diganti

(2) Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar. 3)

Maka Perubahan UUD pasal 1 ini menjadi esensi bahwa dalam Demokrasi sekarang ini, TIDAK ADA PELAKSANA lembaga tertinggi, tidak ada Badan Musyawarah Rakyat tertinggi. (Mungkin Indonesia adalah satu-satunya negara yang tidak punya Rakyat Asembly). Majelis Permusyaratan Rakyat sejatinya bermusyawarah mengedepankan demokrasi pancasila.

Namun begitu Pemilihan pemimpin secara langsung bukan bertentangan dengan Pancasila, terutama apabila yang dicalonkan adalah kandidat calon kepala daerah dari Partai. Pada masalalu partai diemban oleh individu-individu yang memiliki keistemewaan lebih dari manusia padaumumnya, Satu orang yang “Berkuasa” dibantu oleh lainny, sehingga mampu menanggung jawab keamanan dan kesejahteraan bersama dan didukung “dibayar” bersama oleh warga yang menjadi naungan/lindungannya. Bagaimanapun partai adalah ejawantahan terdekat dengan perjuangan kepentingan rakyat, namun begitu kontrol Rakyat terhadap partai selalu terjadi tiap 5 tahun sekali. Disinilah partai diuji sifat dan karakternya, Apakah memenangkan suara dengan menyebar uang (demokrasi liberal) atau dengan menyebar kadernya kandidat partai untuk bertemu konstiuten menjaring aspirasi dan mendukung keterpilihan partai melalui calegnya.

Pemilihan langsung sudah terjadi sejak dulu dalam memilih pemimpin, Langsung bukan berarti TIDAK MUSYAWARAH, memilih Soekarno dan Hatta secara langsung, memilih pemimpin di desa langsung semua dengan musyawarah, bukan dengan Voting atau suara terbanyak. Demokrasi telah berjalan ribuan tahun dengan cara luhur di desa-desa, baca buku “Desa”, Soetardjo Kartohadikoesoemo BalaiPustaka 1984. Digambarkan bahwa dalam suatu desa kegotongroyongan kolektivitas benarlah terjadi, mungkin dalam bayangan feminis “barat” kolektifitas ketika perempuan tinggal di gua-gua dan bercocok tanam. Padahal tak seperti itu, sudah ada sistem yang dibangun.

Kalau voting, Pasti JAWANISASI, Jawa central, inspirasi rakyat Jawa akan selalu menang dalam segala voting atau referendum pasti penduduk dengan jumlah “mayoritas” “kuantitas” pasti menjadi penentu kemenangan, penentu kebijaksaan, padahal bukan itu.

Blog at WordPress.com.

Up ↑