Ibu Endang bersama kedua putrinya kiri Niken dan kanan Atid
Ibu Endang bersama kedua putrinya kiri Niken dan kanan Atid

Endang Oentari Kusuma Merakati: Anak Perempuan Saksi Perang dan Damai 1945-1947

Setiap tanggal 17 Agustus bangsa Indonesia merayakan Hari Kemerdekaan Negara Republik Indonesia. Kisah perjuangan para veteran, para pegawai, dan para tokoh pejuang saat itu sudah banyak dan akan terus ditayangkan diberbagai media dan televisi. Namun tidak banyak, bahkan hampir tidak ada cerita dan kisah anak-anak yang menjadi saksi perang bahkan ikut terlibat membantu perjuangan kemerdekaan. Berikut ini adalah pengalaman seorang anak perempuan yang menjadi saksi saat perang Kemerdekaan 1945-1947. Kacamata dan perilaku anak-anak pada saat itu yang berbeda dengan kondisi kini. Inilah kisahnya
Ibu Endang Oentari lahir tahun 1934, beliau adalah saksi segala jaman, Hindia Belanda, Penjajahan Jepang, Awal Kemerdekaan/Revolusi, Peristiwa 65, Reformasi 1998 dan hingga kini masa Presiden pilihan rakyat Jokowi.

Berikut ini cuplikan dari kisah Ibu Endang kecil dalam masa Perang Kemerdekaan (1945-1947)
Ibu Endang berasal dari keluarga terdidik dimana sebagai anak Pegawai Perusahaan Kereta Api jaman Belanda,NIS (Netherlands Indische Spoorweg maatschappij). Ibu Endang sempat mengeyam pendidikan HIS hingga kelas I. Meskipun berasal dari keluarga pegawai Belanda, keluarga dari garis Ayah (Cepu) dan Blora (Ibu) m erupakan warga yang memiliki kepekaan terhadap masyarakat sekitar. Hal ini ditunjukkan saat perjuangan kemerdekaan Indonesia. Ketika ayahnya dan keluarga membuka dapur umum bagi para pejuangan kemerdekaan (kelompok-kelompok laskar pada saat pertempuran 5 Hari di Semarang diakhir Perang Dunia II).

Sebagai anak kecil perempuan, dimasa perang 5 Hari Semarang Oktober 1945, Ibu Endang yang masih berumur 11 tahun tidak hanya menjadi saksi dan pelaku perjuangan keluargannya. Yaitu perjuangan gotong royong dan kejujuran (tidak korupsi). Namun ada juga tindakan heroik yang telah dilakukan ibu Endang sebagai anak kecil perempuan. Ia telah ikut berjuang membantu dapur umum. Saat itu terjadi perang 5 Hari di Semarang pejuang Republik dengan pasukan jepang. Lokasi yang semula sekolah pelayaran saat pendudukan jepang. Saat itu banyak dari pelajar sekolah pelayaran tinggi itu yang dikirim jepang berlayar untuk perang, banyak yangkutip42 tidak kembali. Sekolah itu menjadi markas laskar saat perang dengan jepang Rumah yang dijadikan dapur umum itu berlokasi rumah keluarga Ibu Endang tak jauh dari markas tersebut.
Suatu ketika disebabkan persediaan ikan asin untuk di dapur umum sudah habis maka harus mengambilnya di gudang, dan lokasi gudang dekat dengan penjagaan tentara jepang, maka tidak ada orang dewasa yang berani menggambil ikan asin. Mereka bisa ditembak jepang. Maka Endang yang masih kecil bersama adiknya yang berusia 6 tahun ikut membantu laskar dengan mengambil sekarung ikan asin dengan melewati tentara Jepang. Endang tidak merasa takut dan khawatir saat menarik karung berisi ikan asin untuk dibawa ke dapur umum rumah ibunya. Dapur umum pada saat itu ramai dengan warga saling bahu membahu memasak masakan untuk laskar. Utusan laskar akan datang, menyebutkan dari lascar-laskar mana dan akan mengepung markas jepang sehingga perlu makanan, yang akan diberikan oleh dapur umum. Karena dapur umum itu untuk laskar, maka hanya untuk laskar. Ibu-ibu yang masak dan keluarga Ibu Endang tidak makan dari yang diperuntukan untuk laskar. Keluarga Ibu Endang sendiri tak memakan satu butir nasipun yang berasal dari Dapur Umum tersebut. Keluarganya hanya memakan kanji jatah ayahnya selaku pejabat jawatan kereta Api. Suasana digambarkan sebagai suasana gembira senang bekerja bahu membahu (meski tidak ada makanan) dalam mendukung pejuang-pejuang, dan penuh harap pada kemerdekaan.

Masa revolusi bersenjata Perang Kemerdekaan (Clash Action I Jaman Republik) juga dialami oleh Ibu Endang. Pada masa itu situasi khas yang tampak di stasiun kereta api adalah suasana ramai oleh para pemuda pelajar lascar pejuang, yang berbaju seragam kumuh membawa bambu runcing atau senjata lainnya pedang, keris, golok dsb. Ibu Endang sendiri pernah mengantarkan kekasihnya yang anggota laskar ke stasiun kereta untuk pergi berperang. Komunikasi berpacaran dilakukan dengan surat menyurat. Suratnya pun terbuat dari kertas merang, yang usianya tidak bisa lebih dari 3 hari. Tiga hari kertasnya hancur. Surat ditulis dengan pensil dan dikirim biasanya ke markas tempat lascar tinggal. Biasanya para lascar pergi ke garis depan artinya mengepung kota Semarang yang sudah diduduki belanda. Anggota lascar biasanya pergi seminggu atau lebih, lalu kembali ke markas.

Pada masa Perang Kemerdekaan, anak-anak dipakaikan kalung dengan nama dan alamat, juga nama orang tua dan sepotong karet untuk digigit apabila ada bombardemen. Juga warga dianjurkan membawa karet mentah (warna putih) sepotong agar ketika ada bunyi bombardir karet itu digigit agar gigi tidak rontok. Pada saat Perang Dunia II rumah-rumah halamanya dibuatkan lubang-lubang untuk bersembunyi. Ukurannya vertikal 150-200cm, jumlahnya beberapa tergantung di rumah tersebut berapa orang yang tinggal. Pada Clash I/Republik, yang dialami Endang di Cepu, tiap rumah didepannya ditaruh sejumlah besar kayu dan minyak untuk siap dibakar jika ada pasukan Belanda datang, rumah-rumah siap dibumihanguskan. Pada jaman jepang akhir Perang Dunia II terjadi terus menerus bombardier sekutu untuk melumpuhkan jepang di Indonesia. Bunyi sirene penanda bahaya datang maupun tanda aman dan boleh keluar rumah. Pesawat sekutu B29 terbang yang menimbulkan bunyi keras. Pada saat Clash II, Solo sudah diduduki Belanda Juga ketika Cepu diduduki Belanda, pada jam-jam tertentu saat warga masih dapat duduk-duduk di halaman rumah dengan tembok duduk untuk bercengkrama biasanya diatas got/gorong-gorong. Pada saat-saat tertentu biasanya warga tahu ada laskar Republik yankutip32g sedang lewat melalui gorong-gorong itu, dan warga/penduduk sipil pura-pura tidak tahu.
Disamping suasana perang peristiwa terkait tawanan perang juga merupakan kisah tersendiri yang dialami Ibu Endang dan keluarganya. Ada lagi yang mungkin khas dalam kondisi perang. Pemenuhan kebutuhan makanan dan pakaian. Pangan ditukar dengan pakaian. Saat itu pakaian yang dikenakan oleh warga belanda yang ditawan jepang (khususnya perempuan) bagus-bagus. Sementara penduduk Indonesia sejak jaman jepang kesulitan mendapakan pakaian layak. Ibu Endang menjadi saksi saat para ibu disekitar lokasi tawanan perang sering datang dengan membawa bahan makanan. Dua buah telur ayam saja dapat ditukarkan dengan baju perempuan yang bagus (untuk saat itu harganya bisa sangat mahal).

Terkait pakaian, Ibu Endang bercerita tentang asal mula kata-kata Klewer (Solo). Pada masa perang, orang berjualan pakaian pada malam hari, di lapangan dan tanpa penerangan apapun di Pasar Singo. Tak ada lampu penerang saat itu, selain cahaya langit. Pakaian yang akan dijual pun tidak dijejer-digelar dijalan. Namun disampirkan dipundak. Sehingga menglewer-glewer. Dan pakaian yang dijual itu berasal dari pakaian bekas dan kain-kain yang disambung-sambung kembali setelah diwarnai dengan warna coklat tua atau hitam. Sehinkutip5gga ketika akan membeli, para pembeli akan meneropong kain baju tersebut ke langit, untuk mengecek apakah ada yang bolong. Setelah belanda pergi dari Indonesia, pasarnya dipindah dan tempatnya sekarang tetap dinamai Pasar Klewer.

Itulah secuplik kisah dan pengalaman Ibu Endang, saat masih sebagai anak perempuan dimasa Perang Kemerdekaan. Ibu Endang kemudian meneruskan kehidupan remajanya berpindah-pindah dari Solo dan Yogyakarta, menikah dan selanjutnya berjuang memfasilitasi keberlanjutan kesenian tradisional Jawa bersama suami Mudhakir yang juga pernah menjadi anggota Tentara Pelajar. Aktivitasnya dan kegiatan mendukung kelangsungan dan perkembangan dan keberlanjutan seni tradisi dilakukan Surakarta sejak 1960an, dan turut melahirkan seniman-seniman yang memuliakan seni tradisi Jawa. (disarikan dari wawacara @UmiLasminah pada tanggal 6 Agustus 2015, Jakarta)

Create a free website or blog at WordPress.com.

Up ↑