Penghormatan Pada Yang Lebih Tua
Di Nuswantara kita mengenal tata cara pergaulan yang menghormati mereka yang lebih tua. Maka didalam pergaulan sebuah keluarga kita akan mengenal nama-nama panggilan pada mereka yang lebih tua, misalnya Saudara yang lebih tua laki-laki: Mas (Jawa), Kang/A’a(Sunda), Mpok (Jakarta) Abang/Lae (Sumatera Utara), Daeng (Sulawesi), atau kalau perempuan Mbak, Ceuce/Teteh, Eda, dsb. Kepada yang lebih tua/kakak dari pihak ibu/bapak laki-laki untuk Jawa disebut Pakde (bapak Gede), untuk adiknya dipanggil Pakle (bapak cilik), atau Paman, dan Bibi, Uwa (untuk Sunda),Nang Boru (Batak) atau segala nama dan sebutan asli Nuswantara bagi kakek nenek, eyang, mbah, aki, nini, opung, dan masih banyak lagi.
Kesemua penamaan itu bukan tanpa arti, bukan tanpa makna. Kesemua penamaan bahwa penghormatan kepada mereka yang lebih tua adalah bagian penghormatan terhadap manusia lain yang secara fisik dan rohani telah lebih dahulu berada di bumi dan menjadi garis temurun yang lebih awal dan lebih dekat dari yang lebih tua. Sehingga pada titik ini menghormati yang lebih tua, bisa diartikan menghormati ‘guru’ karena dari yang lebih tualah kita mendapat pelajaran tentang kehidupan.
Kita mengalami dan menyaksikan sendiri betapa waktu kecil kita diajari oleh kakak tentang pelajaran sekolah, tentang cara membuat prakarya dsb. Itulah contoh mengapa adik menghormati kakak, karena transformasi pengetahuan dan pengalaman terkait dengan ‘masa’ ‘waktu’ ada yang lebih dahulu ada yang belakangan, dan tentunya makna tersebut bukan dimaksudkan untuk merendahkan satu yang lain. Namun menghormati menghargai satu sama lain tetaplah ada. Bahwa seorang yang lebih Tua pun mempunyai cara menghargai yang lebih muda, misalnya dengan mendengarkan, memberi jawaban pertanyaan dan sebagainya. Mengapa di Nuswantara ada begitu banyak adat dan tatacara yang terkait dengan Penghormatan pada Manusia, atau pada Leluhur Manusia, tentunya ini bukanlah terjadi begitu saja. Semua ada penjelasannya.
Bukan Feodal bukan Melawan Egaliterian
Penghormatan kepada mereka yang lebih tua dengan pemanggilan nama bukanlah model feodal karena istilah feodal sendiri adalah serapan dari ilmu sosial Barat, dan sistem Raja-raja di Barat berbeda dengan sistem pemerintahan Kerajaan di Nuswantara (khususnya sebelum abad ke 15). Kita semua khususnya yang telah mengenyam pendidikan modern dari sekolah-sekolah di Negara Republik Indonesia maka mengenal sejarah Revolusi Perancis 1789 yang mengedepankan egalite, fraternity and liberty. Ketiga semboyan yang lahir karena tirani Raja Louis XVI di Perancis. Dikarenakan pendidikan modern di berbagai penjuru dunia (khususnya yang dijajah oleh Negara Barat) mengacu dan belajar pada sejarah dan pemerintahan Barat (Amerika Utara-Eropa Barat-Western-North America, West Europe) maka di Indonesia pun diperkenalkan ajaran sejarah revolusi Perancis sebagai suatu masa perlawanan kaum tertindas melawan tirani Rajanya. Sedangkan pelajaran Sejarah Nuswantara sebelum abad ke 15 (sebelum Runtuhnya Majapahit) tidak diperkenalkan dan bahkan tidak diketahui oleh Rakyat Indonesia.
Padahal sistem kerajaan di Nuswantara dengan segala tata cara berkehidupan kemasyarakat telah sangat rapi dan detail tersusun dalam Nagara Kretagama (bukan versi yang diklaim arkeolog sekarang dan Belanda). Pada intinya dahulu kala, masa Purbaraya kehidupan di Nuswantara semua manusia bebas, kecuali yang bersalah (dia sedang dihukum), tidak ada budak, dan perempuan serta laki-laki setara dalam artinya mereka dapat mencapai apapun yang dikehendaki denganberilmu/melaku. Pendidikan di masa lalu pun berbeda dengan di masa kini. Namun yang paling inti dari ajaran pada masa lalu adalah penghormatan pada yang lebih tua bukan semata-mata hormat tak jelas, melainkan mengerti tata krama, prilaku yang baik dan mulia sebagai manusia. Pada masalalu perilaku manusia yang mulia membuat manusia juga ditakuti/disegani oleh hewan, dan bukan dalam arti yang ada sekarang, melainkan hubungan kesemestaan yang dikarenakan ada pengetahuan tentang Kehewanan, Tanam-tanaman dengan Pengelola alamnya.