Hari Ibu Indonesia Politik, di AS Domestik

binadesa.org

 

Hari Ibu Indonesia berbeda dengan Hari Ibu di barat, sebagaimana yang pernah saya tulis sebelumnya https://wartafeminis.com/2008/03/04/kongres-perempuan-indonesia-sebuah-gerakan-perempuan-1928-1941-2/ 

Di Amerika Serikat (AS) Hari Ibu memang untuk menghormati peran perempuan sebagai ibu dan keibuann. Hari Ibu di AS dimotori oleh Anna Jarvis tahun 1908 dan menjadi hari libur resmi sejak tahun 1914. Berbeda dengan hari Ibu di Indonesia yang memiliki tanggal pasti, maka MD adalah minggpolwanu kedua seperti 2021 jatuh pada tanggal 9 Mei. Pencetusnya Ann Jarvis dikemudian hari ketika melihat komersialisasi Hari Ibu berupaya agar dicabut dari hari libur  nasional. Mengingat pada Hari Ibu selalu diperingati secara tradisi dengan memberi hadiah kepada ibu dengan bunga  kartu dan hal-hal lainnya. Ann Jarvis sendiri tidak mempunyai anak, adalah Ibunya Ann Reeve Jarvis yang mempeloporinya dengan mengajari tentang bagaimana  ibu merawat anak, dengan mendirikan Persabatan Para Ibu yang berlangsung dimasa usai Perang Sipil 1868. (https://www.history.com/topics/holidays/mothers-day)

Dalam konteks diatas  maka konsep Ibu yang bersifat Domestik mengurus anak adalah Hari Ibu versi AS, sedangkan Hari Ibu 22 Desember 1928  di Indonesia bersifat Politik, mengambarkan bahwa konsep Ibu dan sebutan Ibu berlakuseluruh perempuan: lajang, menikah, punya anak atau tak punya anak yang antara lain terlibat didalam perjuangan Pergerakan Nasional (menuju Indonesia Merdeka). Secara lebih jauh lagi, konsep Ibu yang bersifat Politik Publik dapat ditelusuri jejak sejarahnya dalam kehidupan suku-suku bangsa di Indonesia (terutama sebelum masuk pangaruh baik Barat maupun Arab).

Sejarahnya sebelum kedua pengaruh tersebut masuk ke Indonesia, Ibu memiliki tempat mulia, dimuliakan. Hal ini juga menjadi ciri dibanyak wilayah suku-suku asli (indigenius) yang menempatkan Ibu dalam posisi Pengemban Kebijaksanaan (tempat Bertanya konsultasi “Bundo Kandung”, suku suku Indian Cheeroke di AS juga memiliki posisi yang sama dan dapat menjadi panglima perang.

  1. Konsep Ibu, konsep Ibu dalam tatanan masyarakat Nuswantara luhur bermakna dalam dan Luas, disana ada Power Kekuasaan. Dalam Penciptaan meski secara kemanusiaan diciptakan pertama kali di bumi sosoknya perempuan anak-anak Maharani, namun Maharani tidak beranak pinak. Baru sesudah arcapada diperuntukkan bagi manusia, dimana penghuni sebelum manusia adalah butho/iblis dan para raksasa. saat itu pula dimulainya konsep ibu dan memuliakan perempuan
  2. Di dalam tradisi Nuswantara yang jejak bahasanya masih ada adalah penyebutan nama untuk ibu atau perempuan yg melahirkan anak berbeda-beda.
  3. Disitulah Ibu sebagai konsep berpikir penciptaan dan kekuasaan dunia yg seimbang setara terjadi. 
  4. Secara aktivitas sosial perempuan dan laki-laki tak ada perbedaan, tak ada konstruksi gender dalam pekerjaan semua bisa melakukan apapun termasuk bela diri, termasuk posisi memimpin pemerintahan menjadi kepala negara: Raja Ratu, Maharaja Maharatu.
  5. Menjadi pemimpin perang, panglima, healer, pemimpin adat dan sebagainya

Adapun perbedaan biologis adalah kenyataan yang tak dapat dipungkiri dan diterima dengan tanpa judgement, sejak jaman purbaraya, jaman awal peradaban bumi dan mulainya pemerintahan dipimpin oleh manusia keturunan Dewa/Dewi ada dayang ataupun pendamping yang “wandu” laki-laki dengan sifat keperempuanan, dan perempuan sifat kelelaki-lelakian. 

Meskipun peran publik dalam dilaksanakan oleh Ibu, namun fungsi biologis melahirkan turut menjadi penentu adalah segregasi pembagian peran domestik dan publik yang rigid terutama setelah pengaruh ajaran Arab dan Barat datang. Disamping itu, suku-suku bangsa di Nusantara pun memiliki perbedaan yang baru pada abad ke-18 cendrung sama, yaitu menarik perempuan untuk lebih menetap dan mengelola kerja domestik (di rumah). Sejarahnya perempuan di Sumatera Utara mempunyai posisi yang setara atau lebih tinggi dengan laki-laki, dan hampir sama dengan yang terjadi di Sumatera Barat dan peralihan kekuasaan dari Matrilinial menjadi Patrilinial di Sumatera pun berlangsung dalam proses yang panjang dan ditutupi sejarahnya.

Pemuliaan terhadap Ibu adalah bagian dari tradisi memuliakan orang yang lebih tua  adanya panggilan Mba, Mas, Abang Uda dsb. Itulah bagian dari memuliakan  Leluhur, Nenek Moyang terutama Ibu, dalam Konsep Indonesia Ibu sangat Luas, dan ini Ibu tersebut dalam lagu Indonesia Raya, jadi Pandu Ibuku, putra-putri semuanya Warga Negara Indonesia bertugas “memandu” Ibu (Tanah Air, Negara dan segala isinya), disamping itu secara nyata nama sebutan Ibu untuk fungsi biologis (anak yang dilahirkan/dirawat/dipelihara) oleh perempuan Ibu ada berbagai sebutan seperti   Ine  di Gayo Aceh; Nande di Batak Karo; Amak di Minang, di Jawa a.l:  Enyak, Emak di Betaw; Ambu, Mimi di Sunda; Simbok, Biyung di JawaTengah dan JawaTimur, Eb di Madura ; Dayak Ngaju Umai, Dayak Banua Inaq, Bugis Makasar anrong, amma, emma.

Pada masyarakat Batak perubahan antara kekerabatan menurut garis ibu menjadi garis bapak melalui permusuhan dan pertumpahan darah. Hal ini dimulai dengan mengubah tebusan atas perempuan yang dibawa pergi laki-laki menjadi harga pembelian. menurut Kutipan Bab II,  M.H Nasoetion gelar Soetan Oloan, “Kaum Wanita dan Sistim Marga” De Plaats van de vrouw in de Bataksche Maatschappij, dissertatie Uttrecht 1943, “ dalam Maria Ulfah Subadio, T.O Ihromi ed.., Peranan Kedudukan Wanita Indonesia., Yogyakarta: Gajah Mada University 1978.,  Hal.6

Blog at WordPress.com.

Up ↑