Kelahiran Koalisi Perempuan Indonesia untuk Keadilan dan Demokrasi: Perjalanan Sejarah Feminisme Perempuan Indonesia tak Boleh Terlupakan
Bagian I
Seorang kawan yang jujur, dan berkontribusi menciptakan logo Koalisi Perempuan Indonesia untuk Keadilan dan Demokrasi ditahun 1998, berkata kepada saya beberapa hari waktu lalu, “kalau begitu organisasi dengan pimpinan seperti itu tidak berhak lagi untuk bicara tentang kesetaraan, tentang HAM, sebaiknya mengaku saja sebagai organisasi anti HAM”.
Hal tersebut diatas cukup mengejutkan saya, benar pula adanya pernyataan kawan saya ini. Kawan saya ini, Nani Buntarian ini juga yang membuat mailist pertama Koalisi Perempuan Indonesia pada masa mailist belum menjamur dan berkembang seperti sekarang ini (ditulis 2009), saat belum ada WA. Tentunya apa yang diungkapkannya merupakan reaksi spontan tentang apa yang terjadi, tentang bagaimana isu lesbian digunakan untuk menjatuhkan salah satu calon, dan di beberapa daerah memang berpengaruh. Suara yang solid menjadi pecah, disebabkan isu-isu tersebut.
Tak banyak anggota Koalisi Perempuan Indonesia sekarang yang mengetahui bahwa Koalisi Perempuan Indonesia untuk Keadilan dan Demokrasi yang didirikan bersama pada tahun 1998, dimulai dengan suatu perjuangan yang panjang berat dan melelahkan. Airmata, tenaga dan cita-cita para perempuan dengan dedikasi tinggi dicurahkan saat itu. Inilah ciri khas bangsa Indonesia, selalu melupakan diri dari sejarah. Sejarah dan jejak pelajaran masalalu bukan jadi pelajaran, belum jadi kebanggaan, padahal baru sepuluh tahun lewat.
Di antara para perempuan yang berjuang pada awal sebelum Kongres Yogyakarta, untuk mempersiapkan Kongres saat itu antara lain Debra Yatim, Mira Diarsi, Julia Suryakusuma,Nani Buntarian, Liaang, Avi Mahaningtyas, Kamala Chandrakirana, Maria Pakpahan, Chusnul Mar’iyah (dan nama-nama lain yang saya harus mencari dokumentasinya karena hanya ada dipikiran saat menuliskan ini), mereka ini berpindah-pindah tempat hanya untuk rapat persiapan Koalisi. Pernah sampai rapat di Jalan Jeruk Purut Kemang, pernah di Jalan Mampang Prapatan 55, pernah di Danau Towuti. Rapat berpindah-pindah karena Koalisi Perempuan Indonesia belum mempunyai kantor, belum lagi membuat acara.
Pembentukan Koalisi Perempuan Indonesia untuk Keadilan dan Demokrasi terkait erat dengan gerakan perempuan secara bersama-sama melawan Orde Baru. Pada saat itu organisasi perempuan (tokoh-tokoh perempuan kini) bersatu bahu membahu melawan Orde Baru. Dimulai dengan pembentukan Suara Ibu Peduli, sebagai cikal bakal Koalisi Perempuan Indonesia.
Dalam rapat yang dilaksanakan di Jurnal Perempuan di 19Februari 1998 yang saat itu berkantor di Megaria setelah aksi Suara Ibu Peduli, yang menjadi titik berangkat perhatian dunia perubahan sistem demokrasi di Indonesia, setelah aksi Suara Ibu Peduli di Bundaran HI (23 Februari 1998), dan runtutan kekerasan-kekerasan oleh tentara (April penembakan Trisakti, dan Kerusuhan Mei).
Aksi Suara Ibu Peduli, dan proses hokum terhadap mereka yang ditangkap menjadi suatu peristiwa drama politik perempuan yang Indah. Saat itu para perempuan bersatu, bahu membahu menggunakan citra ‘keperempuanan’ untuk perjuangan politik. Suara Ibu Peduli sendiri nama yangdicetuskan oleh Tati Krisnawati agar gerakan ini tidak terlihat politis, dan tidak dapat dianggap gerakan politik. Padahal tentunya kita semua paham, gerakan perempuan adalah gerakan politik.
Mereka yang ditangkap dalam aksi Suara Ibu Peduli 1998 dan harus menjalani proses pengadilan melahirkan suatu magnitude kebersamaan perempuan di gerakan untuk bersatu.
Hari Perempuan Internasional 8 Maret 1998, diperingati bersama semua organisasi perempuan dengan Doa Bersama antar Iman di Kanisius, Menteng. Pada saat itu, diadakan penarikan sumbangan ‘kencrengan’ yang dana terkumpul disumbang buat TKW yang menjadi korban yang dalam dampingan Solidaritas Perempuan. Foto-foto Julia Suryakusuma menghitung uang hasil sumbangan ini seharusnya masih ada di koleksi dokumentasi Jurnal Perempuan.
Lalu sidang-sidang pengadilan Suara Ibu Peduli selalu disesaki orang-orang yang hadir untuk mendukung mereka yang ditangkap (Gadis Arivia, Karlina Leksono, Wilasih). Sidang-sidang yang dipenuhi orang-orang juga menjadi ajang perjuangan. Susu-susu berbungkus yang bertuliskan pesan perjuangan dan perawanan dibagikan.
Itulah antara lain yang menjadi latar Koalisi Perempuan Indonesia. Sesudah aksi Suara Ibu Peduli, dan dukungan untuk membantu mereka yang kurang mampu dalam pemenuhan susu, Suara Ibu Peduli menjadi bagian yang kemudian gerakan tersendiri untuk berkonsentrasi pada ibu-ibu dan ibu rumah tangga. Maka, dalam rapat-rapat Suara Ibu Peduli selanjutnya, dicetuskan dan disetujui perlunya suatu organisasi politik perempuan yang akan bergerak memperjuangkan kebijakan perempuan di tingkat nasional. Itulah Koalisi Perempuan Indonesia untuk Keadilan dan Demokrasi.
Sejak itu pulalah para pengiat gerakan perempuan yangakan membentuk Koalisi Perempuan bersama-sama mencari cara dan dana agar Kongres Perempuan yang menyatukan gerakan perempuan se Indonesia terlaksana. Berterima kasihlah pada mereka yang melakukan lobby yang terus menerus, membuat proposal, sehingga terlaksanalah Kongres Perempuan 1998 di Yogyakarta.Merekalah yang harus berurusan dengan funding untuk menyampaikan laporan penyelenggaraan Kongres Perempuan, yang mendatangkan perempuan dari berbagai organisasi seluruh Indonesia, mulai dari Organisasi Lasykar Wanita (pejuang Kemeredekaan 1945), hingga organisasi tingkat mahasiswa. Yang hadirpun dari seluruh Indonesia, bahkan perempuan dari Timor-timur masih menjadi peserta Kongres Perempuan ini.
Bagian II
Maka para perempuan saya sebut sebagai Gelombang ke-2 Secondwave feminist yang a.l terdiri dari Debra H.Yatim, Myra Diarsi, Julia Surya Kusuma, Kamala Chandra kirana bertemu dengan donor dari amerika serikat, saat pertama kali bertemu antara lain dilakukan di Cemara Gallery dengan representative dari us aid Mary … . Sebelum pertemuan dengan donatur dan persiapan acara Kongres Perempuan, nama Koalisi Perempuan Indonesia telah dinyatakan dibentuk sebagai Pernyataan Sikap Bersama menghadapi Kondisi Sosial Politik yang genting saat itu, dimana diputuskan untuk Membuat Pernyataan Sikap yang a.l memuat 1. Adili Soeharto dan Kroninya 2. … Pada saat ini berbagai gerakan belum ada yg secara terbuka msnulis ttg adili Soeharto. Para aktivis bergerak dengan menelpon ke daerah memcari dukungan pencantuman nama-nama untuk tergabung mendukung Pernyataan Sikap, mereka berjumlah 75 orang antara lain berasal dari Yogyakarta, Bandung, Sulawesi Selatan, Sumatera Utara dsb, kertas teks pernyataan sikap diketik di Kantor Jurnal Perempuan di jln pengangsaan timur komp Megaria, dan dikirim ke daerah lewat faksimil dan email.
Gerakan politik perempuan Koalisi inilah yang membedakan dengan gerakan mahasiswa yang mengklaim sebagai gerakan moral, adapun gerakan dengan Suara Ibu Peduli nya sebagai gerakan moral yang politis. Sehingga setelah gerakan “moral” politik bersama mahasiswa, perempuan pun merasa penting untuj menentukan arah Bangsa ke depan dengan tidak mengabaikan kepentingan perempuan, maka caranya adalah melalui gerakan politik dimana semua perempuan dari berbagai organisasi menyatu mewakili dirinya “individu” untuk mendukung dan menamakan diri Koalisi Perempuan. Pernyataan sikap ini menjadi jalan pentingnya gerakan yang lebih terarah, terorganisasi untuk itulah disepakati untuk menyiapkan Kongres, yang paling tidak mengikuti jejak Kongres Perempuan 1928.
Maka dimulailah rapat-rapat berpindah tempat, ada di Komseni (kantor seni dengan direktur Debra H.Yatim) di jl Mampang Prapatan, di rumah jalan Jeruk Purut, di jln danau tondano dan akhirnya dengan jaringan berhasil mendapatkan tempat untuk pelaksanaan Pra Kongres selama dua hari di Buncit raya meminjam kantor suatu lembaga. Pada masa inilah mulai dipikirkan logo, dan kawan-kawan baru yang dahulu profesional belum termasuk dalam lingkup kerja aktivis ikut serta dan memberikan sumbangsihnya. Sebelum Pra Kongres, juga ada aksi ke Bappenas, Juli 1998 bahkan persiapan aksi tersebut dihadiri oleh Anggita Abibanyu.
Hasil dan notulensi raparrtour Pra Kongres dapat dilihat di https://wordpress.com/post/wartafeminis.com/313
Umi Lasminah