Jakarta, 24 Juli 2013, WF. Menyikapi akan diselenggarakannya UN High Level Panel of Eminent Persons (HLPEP) on the Post 2015 Development Agenda (Maret), kedua, Asia Pacific Economic Cooperation (APEC) Summit (1-8 Oktober 2013) di Bali, dan ketiga Pertemuan Tingkat Menteri, Organisasi Perdagangan Dunia ( WTO, 3-6 Desember 2013).Komite Aksi Perempuan mengadakan Diskusi Dampak Agenda Globalisasi terhadap Perempuan di PKBI Jl.Hang Jebat 24/7 pkl.15.00-. Narasumber diskusi ini 1. Dewi Amelia (Anggota Dewan Pimpinan Pusat AGRA/ Aliansi Gerakan Reforma Agraria dan Ketua SPI/ Serikat Perempuan Indonesia-Bandung) 2. Rachmi Hertanti (IGJ/ Institute Global Justice)
Paparan Rachmi Hertanti tentang Globalisasi adalah Gombalisasi Perdagangan Bebas (FTA/Free Trade Agreement). Bahwa WTO meskipun beranggotakan negara-negara di dunia, realitasnya siapa dibelakang negara tersebut. Utamanya adalah Negara maju dibelakangnya adalah pengusaha dan perusahaan yang menginginkan ekpsansi pasar, dan supply bahan mentah. Dengan kondisi perekonomian dunia dengan Supply Chain (pekerjaan semuanya di subkontrakan) khususnya dalam perakitan barang manufaktur. Tak ada satu tempat yang memproduksi 1 produk keseluruhan, melainkan terpecah-pecah, dari spare parts (diproduksi di negara ini dan itu, asembling di negara lainnya) dst. Dan Indonesia hanyalan pemasok bahan mentah dan pasar. Semuanya adalah bagian dari WTO-FTA, Indonesia menjadi anggota WTO sejak 1995 ratifikasi, dan terus harus tunduk pada Peraturan Dagang. WTO sendiri mulanya tak begitu sukses, sehingga diluncurkanlah FTA dengan segala gombal informasi: bahwa globalisasi perdagangan bebas meningkatkan pembangunan, daya saing, padahal Faktanya FTA adalah pemaksaan kebijakan dari Luar Negeri/Pengusaha agar mereka bisa menguasai pasar Indonesia dan menguasai produk mentah Indonesia, serta masuk dan menguasai usaha jasa kehidupan manusia (ekonomi, sosial, politik dan budaya).
Masyarakat Indonesia secara luas tak terlalu ‘ngeh’ tentang bekerjanya WTO/FTA, tetapi produk pertanian yang masuk, petani Indonesia yang tidak maju-maju karena kebijakan yang dipaksakan oleh pengusaha di luar negeri. Bahkan terjadi kasus Petani Indonesia penemu benih dituntut oleh Anggota WTO dari Negara maju karena petani tersebut menemukan benih yang mirip benih produksi negara maju tsb yg sudah dipatenkan. Negara-negara maju tentu saja akan menang di pentas Pengadilan Internasional, karena mereka yang merumuskan dengan ahli-ahli dan membuat celah-celahnya, dan pasti lawyer/pengacara internasional dari Negara Maju menguasai bahasa Inggris dsb. sehingga seringkali Pemerintah Indonesia kalah, seperti yang baru terjadi. Maka bila ada keran impor dibuka itu terjadi baru-baru ini, ketika Gita Wiryawan ke Genewa pulang-pulang langsung membuat kebijakan impor terkait tarif dsb.
Pertemuan diakhiri dengan pemahaman yang sama tentang perlunya Indonesia keluar dari WTO…