Sahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual

Sampai saat ini, INDONESIA belum memiliki UU yang dapat menjangkau bentuk-bentuk kekerasan seksual -dengan segala modus dan variannya- yang terus berkembang seiring perkembangan zaman.

UU Khusus Penghapusan Kekerasan Seksual  dibutuhkan karena: 

  1. Untuk melaksanakan sila ke-2 Pancasila yaitu kemanusiaan yang adil dan beradab. Kekerasan seksual bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan, dan sebagai bangsa kita berkewajiban mencegah terjadinya kekerasan dan memulihkan harkat dan martabat kemanusiaan korban,  menghukum dan merehabilitasi pelaku untuk kembali menghargai dan menghormati nilai-nilai kemanusiaan dirinya dan orang lain;
  2. Untuk memenuhi hak konstitusional warga negara diantaranya hak untuk bebas dari rasa takut, tidak didiskriminasi, bebas dari penyiksaan, hak atas hidup dan  tumbuh kembang secara optimal;
  3. Tingginya jumlah kasus kekerasan seksual, dan adanya berbagai  bentuk kekerasan seksual yang belum diatur dalam peraturan perundangan-undangan kita.
  4. Sistem Peradilan Pidana yang ada belum berpihak kepada korban dan tid
    Kalangan disabilitas paling rentan Kekerasan Seksual

    ak  cukup memperhitungkan pengalaman dan kepentingan/kebutuhan korban kekerasan seksual.

  5. Pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan terkait hukum pidana dan viktimologi yang belum diadopsi dalam peraturan perundang-undangan, maupun sistem dan cara kerja aparat penegak hukum; dan
  6. Negara berhutang kepada rakyatnya untuk mensejahterakan semua rakyat sesuai  amanat proklamasi.  Sejahtera bagi perempuan Indonesia berarti bebas dari segala bentuk kekerasan termasuk kekerasan seksual

RUU PKS TIDAK mengatur tindak pidana perzinahan.

Perzinahan dalam perspektif hukum adalah hubungan seksual yang dilakukan oleh seseorang yang salah satunya masih terikat perkawinan. Sementara, perzinahan dalam pengertian norma agama/sosialadalah setiap aktivitas seksual diluar ikatan perkawinan. Perluasan pengertian zinah menjadi pengertian dalam norma sosial/agama akan menyebabkan “over criminalization”, mencampuri wilayah privat dimana hubungan seksual konsensual terjadi. Selain itu, perluasan pengertian perzinahan ini akan menyebabkan korban kekerasan seksual justru menjadi tersangka/terdakwa, kontraproduktif dengan tujuan RUU PKS.
RUU PKS dapat mempertimbangkan “Perkawinan Bigami” sebagai salah satu bentuk kekerasan seksual yang dapat dipidana.Perkawinan bigami khususnya poligami adalah perkawinan kedua, ketiga atau keempat yang dilakukan tidak sesuai dengan UU Perkawinan.Perkawinan poligami umumnya dilakukan secara tidak tercatat atau memalsukan identitas perkawinannya. Perkawinan poligami menjadi penyumbang tertinggi KDRT dan perceraian.Penegasan bahwa poligami harus sesuai UU Perkawinan menjadikan perempuan lebih terlindungi.

 

Sudah ada UU lain yang mengatur kekerasan seksual, seperti UU KUHP, UU Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, UU Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, dan UU Perlindungan Anak apakah masih perlu UU baru:

1.UU tersebut TIDAK merumuskan kebutuhan dan hak korban secara utuh: hukum belum memberikan keadilan bagi semua korban.  Misalnya, hak atas pemulihan dan hak atas restitusi.

2. Ke-4 UU untuk tujuan eksploitasi hanya pada tindak pidana perkosaan, pencabulan dan perdagangan orang seksual. Faktanya kekerasan seksual terdapat ragam bentuknya. Misalkan pelecehan seksual, eksploitasi seksual diluar konteks perdagangan orang, hatespeech karena jenis kelamin, mengintip memakai alat elektronik, dan modus online harassment lainnya, hingga penyiksaan seksual.

3.Tidak adanya rumusan norma UU tsb diatas, sehingga tidak bisa ditegakkan, misalnya: frasa “Pelecehan Seksual” sedangkan dalam UU Hak Azasi Manusia, tidak ada pengertiannya dan bagaimana mempidanakannya, Juga frasa “Pemanfaatan Seksual” dalam UU PTPPO tidak ada definisi dan bagaimana dirumuskan sebagai suatu tindak pidana

4.Tidak adanya integrasi penanganan korban antara penegak hukum dengan layanan untuk korban, seperti layanan konseling, bantuan hukum sampai psikososial. UU yang ada tidak mencakup upaya-upaya pencegahan dan pemulihan untuk korban,pelaku, keluarga dan masyarakat.

 

EKSPLOITASI SEKSUAL

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Di negara liberal, ketika perempuan telah lumayan memiliki jaminan dan perlindungan untuk mengatakan ya atau tidak (consent) dan telah ditetapkan batasan umur perempuan/laki-laki atas batasan itu. Seperti di Amerika Serikat usia orang yang telah memiliki/kemampuan consent yaitu umur 18 tahun, di Perancis 16 tahun, maka ketika mereka yang berusia dibawah 16, 18 tahun dianggap anak-anak (minor) dan jika orang dewasa mengajak hubungan seksual pada minor maka dianggap pemerkosaan. Hal ini yang pernah terjadi pada kasus di Amerika Serikat yang menjadi headline ketika seoarang Guru SMP berhubungan Mary Katherine Letourneau (almaruhumah baru meninggal Juli 2020) dengan anak muridnya laki-laki yang berumur 13 tahun,dia masuk penjara dan menjalani hukuman selama 7 tahun. Di Eropa khususnya negara Uni Eropa terdapat Konvensi Istambul yang diratifikasi 20 negara pada 2014″Council of Europe Convention on preventing and combating violence against women and domestic violence” yang antara lain pasalnya memuat bahka pemaksaan hubungan seks oleh suami kepada istrinya dapat dikategorikan perkosaa, seperti tercantum dalam “Article 36 – Sexual violence, including rape
1.Parties shall take the necessary legislative or other measures to ensure that the following intentional conducts are criminalised:
a. engaging in non-consensual vaginal, anal or oral penetration of a sexual nature of the body of another person with any bodily part or object;
b. engaging in other non-consensual acts of a sexual nature with a person;
ccausing another person to engage in non-consensual acts of a sexual nature with a third person.
2. Consent must be given voluntarily as the result of the person’s free will assessed in the context of the surrounding circumstances

Di negara-negara Aemrika Selatan elah ada konvensi yang mengatur penghapusan kekekerasan terhadap perempuan, The Inter-American Convention on the Prevention, Punishment and Eradication of Violence Against Women (Convention of Belém do Pará) adopted in 1994 represents an important milestone in the area of State responsibility to address violence against Women in Latin America and the Caribbean. By 2016, the Convention of Belém do Pará has been adopted and ratified by 32 of the 33 Latin American and Caribbean States (with the exception of Cuba) (Table 1).
Article 7º of Chapter III ‘Duties of States’ in the Convention of Belém do Pará, states, “States Parties, condemn all forms of violence against women and agree to adopt, by all means appropriate and with out delay, policies to prevent, punish and end the mentioned violence and to carry out the following: c) include in their domestic legislations, penal, civil and administrative codes, as well as of other nature, which are necessary to prevent, punish and end violence against women and adopt appropriate administrative measures as the case may be”

Disamping itu Negara Dominica mempunyai UU Penyerangan seksual, yang memuat termasuk perkosaan dalam rumah tangga,

uu penyerangan seksual Dominika

 

 

 

 

 

 

uu penyerangan seksual Dominika

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

untuk itu mari bersama mendukung kembali dimasukkanya RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dalam Prolegnas 2020-2024 dan dapa disahkan pada tahun 2020.

 

 

Create a free website or blog at WordPress.com.

Up ↑