Catatan dan Masukan Atas Proses Konsultasi Publik yang digelar oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Senen, 7 Februari 202211.
- Mengapresiasi KPPPA yg telah mengakomodir usulan masyarakat sipil untuk merubah format konsultasi publik yakni agar pembasan DIM (Daftar Inventarisasi Masalah) dilakukan perkluster isu krusial. Tindak Pidana KS dan Hukum Acara menjadi topik yang dibahas kemaren. Meskipun harapan kami perlu ada simulasi kasus untuk menguji apakah DIM pemerintah bisa menjawab masalah yang ada sudah terjadi, maupun yang belum benar-benar terjadi .
2. Hal tsb dikarenakan, lagi lagi tidak ada bahan dalam bentuk draf DIM atau setidaknya poin-poin terkait dua topik tsb ditayangkan. Pemerintah dalam hal ini diwakili oleh Narasumber dari Kejakgung dan Polri hanya menyampaikannya secara verbal.
3. Dengan berbagai keterbatasan akses terhadap draft DIM pemerintah, kami tetap berupaya memberikan masukan yg konstruktif, sambil mengkritisi proses konsultasi publik yang berjalan yg belum sepenuhnya mencerminkan prinsip partisipasi publik yg lebih bermakna sebagaimana keputusan MK No. 91/2020.
Kami berharap masukan-masukan kami dapat dijadikan bahan untuk memperkuan DIM Pemerintah, yakni:
A. Agar Pasal 5 ttg pelecehan seksual berbasis elektronik tetap dipertahankan, dan diperluas unsur-unsur deliknya sehingga bisa menjangkau kasus-kasus kekerasan seksual siber. Adapun UU ITE pasal 27 (1) yg dijadikan alasan pemerintah mengeluarkan pasal 5 , terbukti selama ini justru lebih banyak mengkriminalkan korban alih alih melindungi korban KS siber. UU ITE menggunakan frame kesusilaan bukan kekerasan seksual. Pasal 27 di UU ITE dihapus, dianggap tak berlaku terkait pelecehan seksual digitial.
B. Agar Pasal 8 tenteng Eksploitasi Seksual tidak dikeluarkan dari RUU TPKS, karena tidak semua kasus eksploitasi seksual memenuhu UNSUR modus perdagangan orang, sehingga tidak bisa dijerat dng UU PTPPO.
C. Menambahkan dalam Pasal 8, rumusan di ayat (2), untuk menjerat pelaku (“konsumen”) yg menggunakan atau memanfaatkan korban eksploitasi seksual seperti dengan melakukan persetubuhan.
C.Mempertimbangkan Agar Pemaksaan Aborsi dimasukkan dalam RUU. Karena banyak korban pemaksaan aborsi yang belum mampu dijangkau baik oleh KUHP -karena unsur delik yg terbatas, maupun oleh UU Kesehatan yg tidak mengaturnya.
D. Dalam rumusan Perkosaan yang diusulkan di DIM penting untuk memasukkan pengaturan soal “victim precipitation”, sehingga korban tidak mengalami diskriminasi karena, dianggap setuju dengan tindakan pelaku, seperti “korbannya mau kok dibawa ke hotel”. Ini acapkali dijadikan alasan bagi APH untuk mendiskualifikasi korban dan enggan memproses laporannya. Korban mau dibawa oleh pelaku, bukan berarti setuju diperkosa.
E. Agar tindak pidana Korporasi di Pasal 8 dikeluarkan dan diatur tersendiri sehingga dapat menjangkau semua bentuk KS yg dilakukan oleh korporasi.
F. Begitupun pasal tentang Restitusi diatur sendiri bukan hanya sbg tindak pidana tambahan, karena dengan hanya ‘dapat’ dijatuhkan hakim ke pelaku. Kata “dapat” sering diartikan tidak mengikat. Karena Restitusi adalah hak korban yg wajib dipenuhi oleh pelaku.
G. Agar pemberatan hukuman juga dijatuhkan kepada pelaku dari pejabat/petugas layanan publik dan aparat penegak hukum.
H. Agar usulan-usulan rumusan terkait tindak pidana KS dipertimbangkan masuk dalam DIM Pemerintah seperti perbudakan seksual, perkosaan, dan pemaksaan aborsi. Juga masukan masyarakat sipil terkait Hukum Acara
I. Agar proses konsultasi publik yang sudah berbasis kluster isu krusial tetap dilanjutkan untuk Restitusi, Layanan Terpadu dan Koordinasi serta Anggaran, dengan melibatkan Kementrian/ Lembaga termasuk menghadirkan Komnas Perempuan yang belum dilibatkan kemarin, dari 18 Lembaga Layanan APIK yang diundang.
Demikian catatan dan masukan saya, agar menjadi perhatian bagi pihak-pihak terkait.
Jakarta, 8 February 2022
Ratna Batara Munti/Asosiasi LBH APIK Indonesia
Tambahan fakta: Simulasi antara lain untuk menjawab apa disampaikan dalam pertemuan oleh Para Pendamping bagaimana Korban anak tidak segera disediakan pendamping, atau bagi disabilitas tidak segera disediakan peterjemah, juga ketika KORBAN melapor seringkali korban yang harus menyediakan BUKTI, ada satu kejadian Korban Perkosaan tidak mendapat perlindungan, hal ini terjadi ketika ada korban KDRT, pelaku tidak segera ditahan lalu kembali ke rumah dan membunuh istri, sedangkan dalam proses Kekerasan Seksual berbasis Adat dan Penyelesaian Adat masih belum jelas posisi Negara didalam memberi perlindungan bagi korban Kekerasan Seksual.
