Check and Balances pada Media

Media Massa harus juga dapat menjadi bagian check and balances.
Media massa adalah industri yang memiliki kekuatan mempengaruhi, membuat opini, bahkan membuat orang tergerak. Tidak hanya itu media massa mampu juga melahirkan teror, menginsiprasi baik positif dan negatif. Media massa mendapat privilege menjadi pilar demokrasi Keempat sehingga mendapat jaminan penyelenggaraannya melalui UU ataupun Deklarasi PBB. Namun hingga kini kontrol terhadap media masih kurang. Cek and balances atas semua lembaga pilar demokrasi: legislatif, yudikatif, eksekutif dan media belum terjadi secara proporsional.

Media seakan-akan mengerjakan semua fungsi legislatif, yudikatif dan eksekutif sekaligus, sehingga mampu mengacak-acaknya (Ansel Alaman, dalam sebuah diskusi). Saya menafsirkan bahwa kemampuan media ‘menjadikan diri’ sebagai fungsi yudikatif antara lain dengan diacara “Jakarta Lawyer’s Club’ yang tayang di TvOne. Atau berbagai pemberitaan media massa yang tidak hanya membuat carut marut berbagai persoalan semakin ruwet. Kini, media massa tidak hanya menjadi alat Kekuasaan sang Penguasa yang disengaja atau tidak, disadari atau tidak. Mungkin dalam versi political media dijadikan alat Spinning Media oleh Penguasa. Spinning media adalah cara bagaimana pemerintah atau pemakai media menggunakan “news” media untuk alat kepentingannya, bisa disebut sebagai alat pengalihan. Lihatlah bagaimana media yang semula menjadi ujung tombak penyampaian informasi terkait kasus bank Century, akhirnya tak berdaya ketika berita yang mengaburkan “Fokus” pembaca dari kasus bank Century terus merebak, menjamur, berganti-ganti berita besar hampir setiap minggu.

Perhatikanlah: sehabis kasus Century dinyatakan sah sebagai kasus besar oleh lembaga Resmi DPRRI dan harus di-follow up atau tindaklanjuti oleh lembaga terkait, maka lahirlah isu berita:
– Saat sidang CENTURY berjalan: kasus Artalyta dan penjara terkuak Januari 2010
– Saat sidang CENTURY masih berjalan, MK LSPK, dan Anggodo
– DPR Memutuskan Century sebagai harus dibawa ke ranah hukum dan kebijakan yang salah: Maret 2010
– Gayus dan Mafia Pajak: April 2010
– Berita dan kisah Susno Duaji dan KPK Juni 2010
– Berita kasus cek pelalawat, anggota PDI Perjuangan ditangkap dan dipenjara Juni
– Dan seterusnya
Kini TAHUN 2011:
– Kasus korupsi Menpora dan SeaGames mencuat membawa nama Nazarudin Januari
– Nazarudin dicekal
– Nazarudin kabur
– Nazarudin bicara di media

Pada titik spinning media yang sudah nyata dan terang benderang di depan mata, selayaknya media tidak hanya menjadi alat Penguasa. Rakyat sebagai pemilik utama Negara seharusnya diberi ruang untuk bicara dan mengontrol media. Jangan sampai pres tidak memberi ruang hak jawab terhadap masyarakat menyangkut pers. Cek and balances sehingga media terhindar menjadi tiran.(kutipan Ansel Alaman)
Prinsip demokrasi yang mengedepankan check and balances seharusnya berlaku pada empat pilar kekuasaan: legislatif (DPRRI), eksekutif (pemerintah), yudikatif (kehakiman: MA,MK,KPK) dan Media massa.
Keempat lembaga tersebut telah memiliki peraturan dan perundangan yang dibuat oleh legislatif bekerjasama dengan pemerintah dan melalui prosedur pembuatan UU yang juga diatur dengan UU (UU Tatacara pembentukan peraturan perundangan). Akan tetapi hingga detik ini, tahun 2011, lembaga-lembaga tersebut belum dapat menghasilkan suatu yang breakthrough yang membuktikan Bahwa lembaga ini bekerja dengan sebenar-benarnya.

Di antara berbagai lembaga tersebut eksekutif adalah lembaga yang disparasinya paling luas dan tersulit untuk dianggap sebagai kesatuan lembaga. Presiden sebagai Kepala Eksekutif membawahi mentri-mentri yang ditunjuknya dengan hak preogratif penuh yang dijamin undang-undang. Institusi yang disebut sebagai Pemerintah ini telah menunjukkan bukti bahwa pemerintahan walau dijalankan dengan check and balances oleh lembaga lainnya (DPRRI) namun realitasnya tak memberikan jaminan keuatan fungsi pengawasan tersebut. Contohnya walau DPRRI telah menjalankan fungsinya mengawasi kebijakan terkait Bailout Bank Century , namun Pemerintah yang melaksanakan kebijakan yang salah tersebut, tetap hampir terbebas dari tuntutan hukum. Adapun Media massa berada dititik menyampaikan fakta-fakta dan berita yang dibuat oleh Penguasa.
Media massa hampir tak dapat berkelit untuk selalu memuat berita yang dibuat penguasa, namun dapat berkelit bila hal itu merupakan berita rakyat, atau berita kritik terhadap media sendiri.
@sept, 22, 2011. Umi Lasminah

BAHASA: ALAT PENINDASAN DAN TEROR MENYALAHKAN PEREMPUAN

BAHASA: ALAT  PENINDASAN DAN TEROR MENYALAHKAN PEREMPUAN

Setiap hari laki-laki melakukan tindak kekerasan terhadap perempuan. Atas tindakan nyata tersebut perempuan kehidupan perempuan terpengaruh oleh tindakan nyata kekerasan tersebut dan terror atas ketakutan pada kejadian tersebut.

Kekerasan terhadap perempuan, perkosaan dan pembunuhan yang terjadi di mikrolet di Jakarta beberapa waktu lalu telah menimbulkan ketakutan dan terror bagi  perempuan. Media massa dengan bahasanya MENYUMBANG LUAR BIASA atas ketakutan dan terror ini.

Berita yang terus menerus, gambaran yang vivid  dan terang-terangan, dan kini dalam rangka MENCARI SIAPA YANG SALAH (seakan Pelaku tidak bersalah), maka BAHASA adalah alat paling ampuh untuk menunjuk siapa yang salah. Pemerintah dan pemangku kepentingan sekali lagi dengan LUAR BIASA JAHAT-nya memakai Media sebagai wahana bahasa penempatan siapa yang bersalah pada konteks kekerasan perempuan. YANG BERSALAH ADALAH KORBAN. Itulah bahasa tersirat dan tersurat dalam pernyataan Gubernur Jakarta. Fauzi Bowo:

“Bayangkan saja kalau orang naik mikrolet duduknya pakai rok mini, kan agak gerah juga. Sama kayak orang naik motor, pakai celana pendek ketat lagi, itu yang di belakangnya bisa goyang-goyang,” katanya sembari bercanda. “Harus menyesuaikan dengan lingkungan sekelilingnya supaya tidak memancing orang melakukan hal yang tidak diinginkan,”

Kalimat diatas yang digarisbawahi adalah Kalimat Ideologis, bahasa BLAMING THE VICTIM. Pertama muatan ideology untuk mengatur orang berpakaian. Kedua menjatuhkan HUKUMAN dan KESIMPULAN pada mereka yang berpakaian tidak sama dengan yang lain: memancing. Ketiga: Menganggap orang berpakaian memiliki motivasi atas tindakan orang lain. Itu adalah ideology PATRIARKI. Ideologi yang menanggap semua tindakan laki-laki terhadap perempuan terkait dengan menempatkan perempuan sebagai SEKS OBJEK adalah sah, adalah boleh, layak. Apapun caranya: dipaksa, ditipu, atau dianggap suka-sama suka.

Dengan  menggunakan tuturan yang “becanda” Gubernur Jakarta telah pura-pura atau seolah-olah apa yang dinyatakankannya tidaklah penting, tidak serius. Masalahnya persoalan yang terjadi yaitu Kasus Pemerkosaan adalah permasalahan yang sangat serius, Negara dalam hal ini diwakili oleh Pemerintah Provinsi Jakarta  tidak dapat memberi jaminan Keamanan terhadap penduduk yang tinggal di Jakarta. Terhadap Warga Negara yang dijamin hak untuk hidup aman sesuai Konstitusi pasal 28.

Bahasa: wahana Teror

Lihat saja judul-judul yang dipakai untuk memberitakan kekerasan terhadap perempuan “Pemerkosaan di Dalam Angkot Korban Perkosaan di Angkot D-02 Kenal Dengan Pelaku”

Media Seksis

Sexist Media atau Media Seksis, adalah penggambaran sehari-hari ideologi seksisme dalam paparan, tampilan, content, substansi dan aksesory media massa. Ideologi seksisme merupakan sebutan lain dari Patriarki. Seksisme mengedepankan dan menempatkan laki-laki kaum dari jenis kelaminnya sebagai “pendorong” “penggagas” “pelaksana” segala kebijakan disegala bidang di dunia, dengan menempatkan perempuan dalam posisi objek seks, sex object, melekat dan sulit dilepaskan sehingga sangat mudah ditemui dalam seluruh conten media, seluruh jenis media. Media elektronik, media cetak, medsos, media audiovisiual (film) dan media kekinian (gadget)

Seksisme membuat jenis kelamin perempuan bila tidak tersingkir dari pendorong; penggagas; pelaksana, maka perempuan berada dalam posisi invisible atau minor peran, dan ruangnya sedikit dibanding laki-laki.

Seksisme memberikan keuntungan privelege bagi laki-laki, dan merugikan perempuan. Ada masanya juga tidak menguntungkan laki-laki, manakala kemanusiaan laki-laki seperti “sedih, menangis dan peka” dianggap sebagai kelemahan. Hal ini tadi disebabkan karena seksisme menjadikan perempuan tidak hanya objek tetapi juga melekat dengan sifat yang dianggap sebagai ciri “lemah” menangis dan sedih. Meskipun begitu kondisi keuntungan laki-laki yang terus-menerus dan mapan sehingga melahirkan kewajaran, akhirnya bila bukan dalam kondisi seksisme maka hal itu salah dan tidak wajar. Yang pasti seksisme menempatkan perempuan sebagai mahluk seksual, bukan mahluk sosial.

Seksual artinya peran seputaran seks: melahirkan dan melayani hasrat seksual laki-laki. Yang semuanya masih dalam rangkum ruang yang disebut domestik. Domestikasi perempuan adalah konteks tidak sekedar merumahkan perempuan, namun menempatkan keseluruhan potensi dan jatidiri perempuan dalam perangkap seks dan seksualitas. Tentunya seks dan seksualitas yang ditetapkan dan dibakukan oleh laki-laki baik dalam dunia ilmu pengetahuan/sains maupun dalam kultur. Contoh mengenai hal tersebut paling dapat dilihat dalam sains kedokteran. Emily Martins sangat baik memamparkan hal ini melalui bukunya The Woman and The Body.

Sebagai perempuan mahluk seksual, maka determinasi penilaian orang terhadap manusia berjenis kelamin perempuan adalah karena dia Perempuan. Karena ia terlahir dahulu sebagai Perempuan, barulah atribut kemanusiaan lain yang melekat dan bersifat sosial (hak asasi, nilai, status) diberikan.

Hal ini menjadi masalah karena ada atribut yg dilekatkannya yang dapat membuatnya lebih tidak leluasa sebagai mahluk sosial. Pertama, menetapkan kondisi yang wajar perempuan adalah dilingkup domestik, menetapkan perempuan dalam konteks pelayan didomestik. Semua kondisi tersebut akhirnya menjadi tampilan yang dipaparkan secara nyata dan tersurat melalui media, khususnya media massa.

Media massa adalah pembawa pesan manusia baik secara individu maupun kolektif yang ditujukan. Medium is the message. Kalau medium yang ditampilkan menggambarkan situasi dan kondisi yang terus menerus sama, maka itulah yang menghantam dan merembes ke dalam pemikiran para viewer, pembaca dari medium tersebut.

Satu-satunya cermin ideologi seksisme adalah sistem patriarchy, ketika patriarchy menjadi dogma dengan kemapanan yang tidak dapat disanggah di komunitas, patriarki menjadi ideologi.

Ideologi patriarchy sering tidak terlacak dalam wacana pemikiran ilmu sosial atau grand teori besar, karena secara akademis patriarchy baru satu dasawarsa dianggap sah sebagai ‘term’ yang menjelaskan kondisi riil ataupun yang tidak riil (kesadaran-perilaku) yang hanya dapat dilacak melalui dampak/akibat…

Media = Medium

Media adalah pengantar utama pemikiran dan perasaan manusia yang dapat menjangkau massa yang jumlahnya hingga jutaan orang. Bisa dibayangkan ketika suatu gambar yang seksis menyebar dalam sekejap, duapuluh detik misalnya, video adegan seks antara tokoh politik dan celebrity dimana yang nampak lebih terbuka dan terekspose adalah perempuannya. Disitulah seksisme sangat gamblang tersebar.

Setelah tersebar, maka orang akan lebih terfokus ada perempuan tersebut. Ramailah dimedia massa. Media sebagai tool pengantar sebenarnya objektif tak memiliki kekuasaan, namun manakala nilai seksisme merajai sang pembuat video. Jemarinya, tangannya maka dia akan mengarahkan bagian mana dari perempuan tersebut disorot karema, difokuskan atau mana yang diblur. Kamera adalah alat yang objektif. Semua teknologi objektif, namun modifikasi pemakaianya bisa seksis dan tidak peka gender. Termasuk teknologi yang melekat di kamera handphone.

Didalam perspektif kamera, terdapat female gaze dan male gaze.  Female gaze menjadikan mata perempuan sebagai perspektif melihat dunia dengan penuh empati, “It seeks to empathize rather than to objectify. (Or not.) It’s respectful, it’s technical, it hasn’t had a chance to develop, it tells the truth, it involves physical work, it’s feminine and unashamed, it’s part of an old-fashioned gender binary, it should be studied and developed, it should be destroyed, it will save us, it will hold us back.”  Anda akan dengan sangat mudah membedakan female gaze dan male gaze pada film-film karya sutradara perempuan khususnya ketika aktrisnya memerankan adegan terkait sensualitas. Bisa juga ditemukan pada lukisan-lukisan yang menghadirkan perempuan dalam lukisan tersebut. Pada lukisan yang dibuat oleh pelukis perempuan, media lukisan menjadi ruang yang luas mampu menampilkan emosi tokoh-tokoh dalam lukisan termasuk tokoh laki-laki.

@umilasminah

Create a free website or blog at WordPress.com.

Up ↑