Kebebasan adalah hak terberi manusia. Namun kebebasan yang paling berharga adalah kebebasan yang Memerdekakan.
Walaupun Kemerdekaan telah memberi kebebasan bagi suatu bangsa yang terjajah, sesungguhnya kebebasan tak dimiliki oleh seluruh bangsa tersebut. Diantara mereka dari bangsa tersebut yang paling memperoleh kebebasannya adalah kaum kelas menengah-dan atas terpelajar.
Pada masalalu, saat Indonesia belum merdeka, pemuda-pemudi memanfaatkan kebebasan yang dimiliki untuk bergabung dalam organisasi pergerakan pemuda/i (khususnya sebelum 1928). Kita tentu tahu bahwa pada masa itu sudah banyak pemuda/i Indonesia kalangan kelas menengah dan atas, terpelajar, namun tak seluruhnya ikut dalam pergerakan organisasi pemuda/i.
Para pemuda/i yang ikut dalam organisasi pergerakan adalah mereka yang Menggunakan Kebebasannya untuk Memerdekakan, memerdekakan orang lain.
Pilihan para pemuda untuk dalam organisasi bukan pilihan yang mudah, nikmat apalagi aman. Hanya mereka mau menggunakan kesadaran berpikir dan beraksi sebagai pengejawantahan kebebasan yang dimilikinya untuk suatu yang di luar dirinya.
Bukan pilihan yang mudah. Banyak dari beliau yang mendapat tentangan dari keluarga, menghabiskan waktu berpikir, berdiskusi secara sembunyi-sembunyi. Terancam dibunuh, dipenjara, beberapa melaluinya hingga dipenjara. Pilihan tindakan yang dilakukan dengan kesadaran. Kesadaran yang dipakai karena memiliki kebebasan (walau terbatas). Berapa banyak orang yang punya kebebasan tetapi tidak memakainya untuk memilih membangkitkan kesadaran diri sendiri maupun orang lain…
Selain para pemuda anggota pergerakan organisasi awal abad ke 20, Kartini adalah perempuan yang menggunakan kebebasan yang dimilikinya untuk memerdekakan orang lain. Kaum ningrat perempuan yang sama dengan Kartini banyak, yang memiliki privilege hampir sama bahkan lebih dari Kartini. Tetapi Kartini adalah perempuan yang menggunakan “kebebasan”-nya yang sedikit, ‘kebebasan yang sangat terbatas’ untuk memerdekakan. Pertama Kartiini membebaskan pikirannya, mengambil alih hatinya untuk kemerdekaan yang lebih luas, bukan hanya kemerdekaanya. Kartini memang ingin merdeka, bisa sekolah di Betawi atau Belanda, tapi kemerdekaan yang diidamkannnya hendak dipersembahkan kepada orang lain, kepada para anak-anak perempuan yang tidak bisa baca tulis, ingin memajukan bangsanya. Kartini adalah perempuan yang Meng-Exercise HER FREEDOM. Mengejawantahkan kebebasannya. Padalal kalau dipadankan dengan kondisi sekarang mungkin, menyaksikan seorang ‘kaya,ningrat,terpelajar’ mungkin banyak orang yang bilang “ih ngapain sih ngurusin orang, itu kan urusan pemerintah…cape-capein aja….ngurusin orang lain”
Sedangka selama ini, khususnya di Indonesia yang sudah dimerdekakan melalui upaya pemuda masalalu, orang-orang yang telah dianugrahi kebebasan sepetinya masih menggunakan kebebasannya hanya untuk dirinya sendiri. Khususnya kalangan menengah atas. Betapa tidak, kebebasan baru dimanfaatkan untuk memilih makan direstoran mana hari ini, pergi kemana weekend nanti, makan apa yang enak untuk nanti. Sementara sehari-harinya mereka juga dihadapkan pada suatu ketimpangan suatu penderitaan manusia sebangsa..
Padahal kebebasan “tidak didapat sejak lahir”, karena saat lahir kebebasan kita masih dipegang oleh orangtua-keluarga..Kebebasan hanya mulai muncul manakala otak dan pikiran mulai bekerja, mungkin saat anak-anak dimulai ketika mereka mulai memiliih makanan yang disukai, atau meminta ini-itu. Kebebasan yang paling dasar yang setiap hari dipraktekkan manusia adalah kebebasan ‘biologis’ memilih waktu tidur, memilih makan apa, memilih nonton film apa…etc. Semuanya masih ditujukan untuk kebebasan menyenangkan atau memenuhi kebutuhan dasar pribadi.
Namun belum banyak orang, khususnya di Indonesia yang tergerak untuk menggunakan atau memanfaatkan privilege memilih untuk pilihan yang ditujukan bagi orang lain. Ketika setiap hari kita menyaksikan ….orang-orang yang butuh dimerdekakana (dari kemiskinan, dari kebodohan, dari ketidakpedulian…)
@Umi Lasminah