Kongres Perempuan Indonesia 1928-1941

Kongres Perempuan Indonesia, Sebuah Gerakan Perempuan 1928-1941

Latar Belakang

Perempuan Indonesia, adalah komunitas yang memiliki keragaman dalam menyikapi berbagai bentuk persoalan kemasyarakatan, akan tetapi memiliki kesamaan dalam bentuk penindasan dan pengabaian yang dialami. Pengabaian hak dan penindasan yang disebabkan sebagai manusia ia berjenis kelamin perempuan. Hal yang terjadi di berbagai belahan dunia  di mana pun, saat manusia eksis dengan ciri biologis perempuan dan laki-laki, male female. Maka lahirlah perbedaan yang berujung diskriminasi, yang dipraktekan terus menerus sampai ada perubahan yang menghentikan praktek tersebut.

Bagaimanapun kondisi perempuan Indonesia tak dapat dilepaskan dari pola dan budaya kehidupan masyarakat pada umumnya. Selama masa kolonial hingga kemerdekaan, perempuan selalu berada dalam posisi subordinat di keluarga dan masyarakat. Beberapa pengecualian tentu saja ada, di beberapa wilayah Indonesia, meskipun dalam perkecualian tersebut, basis diskriminasi dan penidasan tetap saja ada dan dapat dilacak. Tulisan ini tak hendak mengupas panjang kondisi diskriminasi dan penindasan, akan tetapi ydalam hal ketersuarakannya kepentingan perempuan di lingkup publik dan domestik mulai dihembuskan dilantangkan dari jaman ke jaman di Indonesia dalam suatu pergerakan untuk menghentikan penindasan,  sehingga kepentingan dan hak, serta kebutuhan perempuan pun terwakili dan terwujud, yang pada akhirnya membuka jalan perempuan tahu apa yang diinginkannya (kesadaran/consciousness), apa yang ingin dikatakannya untuk dirinya ataupun untuk orang lain.

Bila ditelusuri fakta sejarahnya, bukan historiografi Indonesia atau penulisan sejarah Indonesia, kaum perempuan adalah kelompok yang mengambil bagian dalam perjuangan, apakah di jaman pergerakan (- 1945) maupun di jaman kemerdekaan (1945-). Akan tetapi dalam berbagai literatur tentang sejarah dan peringatan monumental, hari-hari peringatan bersejarah, perempuan Indonesia tidak termasuk yang banyak dicatat. Ada tiga hal yang menyebabkan hal itu, pertama: perempuan di dalam lingkup sejarah nasional tidak berada dalam posisi pembuat keputusan ataupun memegang posisi menentukan. Kedua, di dalam perjuangan nasional, perkumpulan perempuan tampak mengalah “untuk tidak menonjolkan diri di lingkup perkumpulan laki-laki”. Ketiga, perempuan kemudian mengambil bentuk perkumpulan sendiri yang terpisah dari laki-laki sebagai tempat di mana perempuan dapat memperjuangkan kepentingan perempuan dan masyarakat secara umum dengan bebas, bahkan dengan menonjol sekalipun.

Melalui perkumpulan perempuan inilah, para perempuan Indonesia kemudian menemukan keterwakilannya dan kebebasannya untuk menyuarakan kepentingannya yang belum terwakili. Perkumpulan perempuan ini nampak seperti perjuangan yang memisahkan diri dari perjuangan masyarakat pada umumnya, yaitu perjuangan menentang kolonialisme dan sebagainya. Tetapi sesungguhnya yang dilakukan para perempuan ini adalah perjuangan untuk mengubah keadaan masyarakat dengan perjuangan yang lebih spesifik dalam jangkauan yang luas;  seluruh perempuan Indonesia, bangsa Indonesia. Dalam menjangkau perjuangannya ke kehidupan perempuan yang lebih luas, perempuan yang masuk perkumpulan (terutama mereka yang berasal dari kelas menengah ke atas dan bangsawan), sedikit banyak terinspirasi oleh literatur tentang perempuan. Antara lain dari buku Auguste Bebel atau Door Tuist Toot Licht (Habis Gelap Terbitlah Terang kumpulan sura Kartini), serta dari perubahan yang terjadi di negara Barat dan dunia pada umumnya.

Kehidupan perkumpulan perempuan Indonesia (gerakan perempuan) bermula dari kegiatan para perempuan di dalam perkumpulan umumnya (perkumpulan yang beranggotakan campuran, perempuan dan laki-laki). Kaum perempuan di Nusantara, terutama yang mengecap pendidikan sekolah dasar atau menengah biasanya memulai aktivitas perkumpulan melalui kegiatan kepanduan (pramuka) atau dalam perkumpulan yang dibentuk berlatar belakang kedaerahan seperti Jong Java, Jong Sumatra atau Jong Ambon. Melalui perkumpulan pemuda inilah perempuan Indonesia turut beraktivitas. Misalnya mereka turut bersama di dalam pendeklarasian Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928. Di samping itu, berbagai perkumpulan umum (pemuda) membentuk seksi perempuan seperti Wanito Tomo dari Boedi Oetomo, Poetri Indonesia dari Putra Indonesia dan Wanita Taman Siswa dari Taman Siswa. Sedangkan perkumpulan perempuan yang muncul pada awal gerakan di antaranya adalah Putri Mardika, pada tahun 1916.

Beberapa perempuan yang kemudian menjadi pelopor dan panitia pelaksana Kongres Perempuan Indonesia pertama ikut serta dalam deklarasi Sumpah Pemuda di Jakarta itu. Mereka antara lain Soejatin, Nyi Hajar Dewantoro, Siti Sundari dan lain-lain. Seluruh gerakan Indonesia pun mengikuti jejak ini dengan menggalang persatuan, dan perempuan Indonesia melalui Kongres Perempuan Pertama 22 Desember 1928. Saat inilah, lahir beberapa ide untuk mengumpulkan berbagai perkumpulan perempuan dan menggalang persatuan sesama perempuan yang tergabung melalui berbagai perkumpulan perempuan.

Kongres Perempuan Indonesia yang berlangsung tahun 1928 berkelanjutan hingga tahun 1941. Sejak tahun1941, tidak lagi diadakan Kongres Perempuan Indonesia. Kondisi ini terutama sekali disebabkan oleh situasi politik Indonesia yang berada dalam genggaman Jepang. Pemerintah pendudukan Jepang tidak hanya mematikan bentuk-bentuk perkumpulan yang mandiri, tetapi melarang adanya perkumpulan perempuan lain selain fujinkai. Setelah Indonesia merdeka tidak lagi ada Kongres Perempuan, yang ada adalah Kongres Wanita. Tanpa bermaksud memperdebatkan arti kata perempuan dan wanita, Kongres Perempuan yang dilangsungkan pada tahun 1928 dan tahun selanjutnya merupakan era kebangkitan perempuan Indonesia. Karena pada saat inilah pertama kali muncul kesadaran perempuan Indonesia atas kepentingannya yang berbeda dari rekan pejuang laki-laki. Pada masa itu pulalah perempuan Indonesia dapat berkumpul secara bebas untuk menentukan kehendaknya.

Kongres Perempuan Indonesia 22-25 Desember 1928

Kongres Perempuan merupakan kegiatan yang bersifat kooperatif. Artinya kegiatan yang di masa pergerakan nasional dikategorikan sebagai perjuangan yang dilakukan dengan menjalin kerja sama dengan pemerintah kolonial. Artinya memiliki status legal, legalitas Kongres diakui pemerintah kolonial, dan Kongres mengajukan tuntutan pada pemerintah kolonial dalam bentuk rekomendasi. Bagi gerakan perempuan saat itu, cara yang ditempuh ini memudahkan penyebarluasan gagasan kepada perempuan dan masyarakat umum, terutama pihak kolonial. Sehingga kaum perempuan kelas menengah atau bangsawan tidak memiliki ketakutan untuk bergabung atau ikut serta karena dianggap tidak radikal. Sedangkan pemerintah kolonial sendiri masih memiliki nostalgia keberhasilan politik etis (kemajuan pendidikan bangsa bumi putra) pada perempuan. Hal ini juga mencerminkan anggapan publik, khususnya pemerintah, tentang stereotipe kegiatan perempuan dan perkumpulan perempuan. Perkumpulan perempuan dianggap non-politis. Sebagai strategi, perempuan yang menyelenggarakan Kongres memutuskan untuk tidak membicarakan “politik” dalam arti umum. Kongres lebih menekankan pembahasan masalah perempuan yang menurut anggapan umum, termasuk pemerintahan kolonial, adalah non-politis.

Perempuan Indonesia dari berbagai latar belakang suku, agama, kelas, dan ras datang dari seluruh Indonesia menghadiri Kongres yang diselenggarakan di Mataram (Yogyakarta, sekarang). Para perempuan ini umumnya berusia muda. Persiapan Kongres dilakukan di Jakarta, dengan susunan panitia Kongres Perempuan Indonesia sebagai berikut: Nn. Soejatin dari Poetri Indonesia sebagai Ketua Pelaksana, Nyi Hajar Dewantara dari Wanita Taman Siswa sebagai Ketua Kongres, dan Ny. Soekonto dari Wanito Tomo sebagai Wakil Ketua. Pada saat itu dimulailah pengorganisasian untuk terselenggaranya Kongres Perempuan Indonesia.

Tidak terbayangkan kini, saat  Indonesia masih belum memiliki fasilitas transportasi, para perempuan dari berbagai daerah hadir ke Yogyakarta untuk menghadiri Kongres. Banyak di antara para peserta Kongres dari luar Jawa harus menempuh perjalanan dengan kapal laut berhari-hari untuk dapat tiba di Yogyakara. Para perempuan ini juga banyak yang harus bergulat dengan persoalan pribadi karena harus meninggalkan keluarga (kekasih), rumah maupun saudara selama berhari-hari, yang tentunya pada masa ini sangat tidak lazim.

Kongres ini dihadiri oleh perwakilan 30 perkumpulan perempuan dari seluruh Indonesia, di antaranya adalah Putri Indonesia, Wanito Tomo, Wanito Muljo, Wanita Katolik, Aisjiah, Ina Tuni dari Ambon, Jong Islamieten Bond bagian Wanita, Jong Java Meisjeskring, Poetri Boedi Sedjati, Poetri Mardika dan Wanita Taman Siswa.

Pembahasan berbagai isu utama permasalahan perempuan dibicarakan dalam rapat terbuka. Topik yang diangkat saat ini di antaranya adalah kedudukan perempuan dalam perkawinan; perempuan ditunjuk, dikawin dan diceraikan di luar kemauannya; poligami; dan pendidikan untuk anak perempuan. Berbagai topik tersebut kemudian memunculkan debat dan perbedaan pendapat dari perkumpulan perempuan yang belatar belakang agama. Akan tetapi, berbagai perbedaaan itu tidak kemudian mencegat suatu kenyataan yang diyakini bersama, yaitu perlunya perempuan lebih maju. Beranjak dari permasalahan yang diungkap, Kongres memutuskan:

– untuk mengirimkan mosi kepada pemerintah kolonial untuk menambah sekolah bagi anak perempuan;

– pemerintah wajib memberikan surat keterangan pada waktu nikah (undang undang perkawinan); dan segeranya

– diadakan peraturan yang memberikan tunjangan pada janda dan anak-anak pegawai negeri Indonesia;

– memberikan beasiswa bagi siswa perempuan yang memiliki kemampuan belajar tetapi tidak memiliki biaya pendidikan, lembaga itu disebut stuidie fonds;

– mendirikan suatu lembaga dan mendirikan kursus pemberatasan buta huruf, kursus kesehatan serta mengaktifkan usaha pemberantasan perkawinan kanak-kanak;

– mendirikan suatu badan yang menjadi wadah pemufakatan dan musyawarah dari berbagai perkumpulan di Indonesia, yaitu Perikatan Perkumpulan Perempuan Indonesia (PPPI).

– PPPI bertujuan memberikan informasi dan menjadi mediator berbagai perkumpulan perempuan di dalamnya.

Selain Kongres Perempuan di atas, muncul berbagai perkumpulan berdiri atas inisiatif peserta Kongres yang dimaksudkan untuk membela dan melindungi hak perempuan, di antaranya Perkumpulan Pemberantasan Perdagangan Perempuan dan Anak-anak (P4A) yang didirikan tahun 1929. Pendirian perkumpulan itu disebabkan oleh merajelanya perdagangan anak perempuan. Pada tahun tersebut berita tentang beberapa anak perempuan dari Desa Pringsurat di Magelang yang diculik saat berwisata ke Semarang menjadi sorotan media massa. Mereka diculik dan dibawa ke Singapura setelah sebelumnya dibius dan tak sadarkan diri. Peristiwa itu menjadi suatu pembicaraan ramai. Pemerintah kolonial meskipun menyatakan dukungan tetapi tidak aktif membantu P4A. Meskipun begitu, pada tahun 1930, P4A berhasil menyelamatkan dua orang anak perempuan dari Jawa Tengah dan dikembalikan ke keluarganya. Mereka diselamatkan saat akan dilakukan transaksi atas diri mereka di rumah bordil di Singapura.

Kongres Perikatan Perkumpulan Perempuan Indonesia, Jakarta 28-31 Desember 1929

Kongres PPPI diikuti oleh perkumpulan perempuan yang menjadi anggotanya. Kongres diketuai oleh Ny. Mustadjab. Pada Kongres ini isu yang diangkat sebagai pembahasan di antaranya adalah masalah kedudukan dan peran sosial dan ekonomi perempuan, peran dan kedudukan perempuan dalam perkawinan, dan kehidupan dalam keluarga. Permasalahan perkawinan khususnya poligami, kawin paksa dan perkawinan anak-anak juga menjadi topik yang dibahas tersendiri. Mengenai Kongres Perempuan I, diinformasikan pada peserta bahwa tiga mosi di atas yang disampaikan kepada pemerintah disambut dengan baik.

Kongres memutuskan:

-mengganti nama PPPI menjadi Perikatatan Perkumpuan Istri Indonesia (PPII). Agar tidak nampak bahwa perkumpulan ini sebagai satu perkumpulan atau unity, melainkan hanya bersifat federasi atau gabungan;

– anggaran dasar yang baru menyebutkan tujuan penggabungan itu adalah menjalin hubungan di antara perkumpulan perempuan untuk

– meningkatkan nasib dan derajat perempuan Indonesia dengan tidak mengkaitkan diri dengan soal politik dan agama;

– mengajukan mosi kepada pemerintah untuk menghapuskan pergundikan.

Kongres ini sempat diwarnai ketegangan dan kepanitiaan mengalami kekacauan karena Kongres hampir dilarang. Hal itu terkait dengan situasi yang terjadi saat itu, yaitu Bung Karno ditangkap di Yogyakarta. Kantor dan tempat gedung pertemuan sempat digeledah polisi. Setelah mendapat surat perijinan yang lengkap dari pejabat yang berwenang, polisi kemudian membolehkan Kongres dibuka. Kongres dilangsungkan di Gedung Thamrin di Gang Kenari.

Semangat peserta Kongres sangat menggebu dan antusiasmenya tinggi. Massa rakyat pun mendukung Kongres ini, “yel-yel merdeka!” dipekikkan oleh massa rakyat. Gedung tempat pelaksanaan Kongres menjadi menggelegar. Polisi yang mengawasi mengancam akan membubarkan pertemuan. Maka salah seorang dari pemimpin sidang menyerahkan penanganan selanjutnya kepada Soejatin (Poetri Indonesia), ketua pelaksana Kongres Perempuan Pertama 1928. Soejatin kemudian berusaha mengendalikan suasana untuk menjadi lebih tertib. Sambutan demi sambutan diakhiri dengan pekikan “Merdeka, Sekarang!” Maka ruangan kembali riuh. Hal ini kembali membuat polisi gelisah dan kesal. Mereka berdiri serentak dan akan berupaya membubarkan rapat. Akan tetapi ketika polisi akan melakukan itu, Soejatin telah mengetuk palu dan menyatakan rapat umum selesai dan ditutup. Selanjutnya dilakukan rapat tertutup antara peserta Kongres.

Kongres turut menyatakan keprihatinannya sehubungan terjadinya penangkapan Sukarno dengan membatalkan rencana akan mengadakan pameran dan malam penutupan.

Kongres Perikatan Perkumpulan Istri Indonesia, Surabaya 13-18 Desember 1930

Kongres Perikatan Perkumpulan Istri Indonesia ini juga merupakan yang pertama bagi perkumpulan ini. Kongres diketuai oleh Ny. Siti Soedari Soedirman. Kongres ini diikuti oleh perkumpulan perempuan yang menjadi anggota PPII. Karena sifat federasi dari PPII ini, maka Kongres memutuskan untuk menetapkan asas perkumpulan yang dapat mengakomodasi bermacam perkumpulan yang ada di dalamnya. Untuk itu ditetapkan asas yang lebih bersifat umum yang dapat diterima oleh seluruh anggota perkumpulan. Hal-hal yang menjadi isu yang dianggap peka bagi suatu perkumpulan tertentu, seperti poligami dan perceraian, tidak dimuat di dalam asas perkumpulan. Kongres memutuskan:

– menetapkan asas yang lebih bersifat umum bagi semua anggota;

– mendirikan Badan Pemberantasan Perdagangan Perempuan dan Anak-anak (BPPPA) yang diketuai oleh Ny. Sunarjati Sukemi;

– mengirim utusan ke Kongres Perempuan Asia yang akan diadakan 19-23 Januari 1931 di Lahore, India, yaitu Ny. Santoso dan Nn. Sunarjati.

Terbentuknya BPPPA disebabkan keprihatinan yang mendalam atas nasib yang menimpa anak-anak peremepuan yang terkena praktek Cina Mindering, yaitu petani meminjam uang dengan bunga yang sangat tinggi dan tidak dapat mengembalikannya, sehingga kerapkali anak gadis petani dijadikan penebus hutang-hutang itu.

Kongres juga mengangkat isu buruh perempuan, khususnya nasib buruh pabrik batik di Lasem. Diangkatnya isu buruh pabrik batik di Lasem itu diilhami dari laporan yang dilakukan oleh dr. Angelino akan adanya kejahatan di dalam pabrik itu. Kongres kemudian mengirim utusan ke Lasem, mereka adalah Soejatin dan Ny. Hardiningrat. Di Lasem keduanya mengadakan rapat umum dengan para pembatik dan melakukan penyelidikan ke pabrik. Rapat umum dengan pembatik dilakukan untuk memberikan kesadaran hak para pembatik di daerah itu. Kedua utusan itu mendapat penjagaan ketat, karena ada kabar bahwa mereka akan dibunuh. Kegiatan yang sama, yaitu rapat umum dan penyelidikan perusahaan batik pun dilakukan di Madiun dan Blora, dengan dipimpin oleh Ibu Sudiro. Selain itu, Kongres juga memprakarsai untuk diterbitkannya majalah Istri.

Mengenai keputusan Kongres untuk mengirim utusan ke Kongres Perempuan Asia di Lahore, ternyata hasilnya tidak sesuai dengan yang diharapkan. Kongres itu tak dapat dilaksanakan oleh aktivis perempuan India, sehingga dilaksanakan oleh perempuan Inggris. Aktivis perempuan India yang seharusnya menjadi penyelenggara Kongres dipenjara karena menentang pemerintah Inggris. Sikap utusan Indonesia yang tidak ikut dalam Kongres itu mendapat kritikan dari sebagian mereka yang memiliki andil dalam pengumpulan dana untuk mengirimkan utusan itu.

Pada Kongres PPII ini, Soejatin menyampaikan ceramah berjudul “Pendidikan Wanita”.

Kongres Perempuan Indonesia, Jakarta 20-24 Juli 1935

Kongres Perempuan Indonesia tahun 1935 diikuti oleh tidak kurang dari 15 perkumpulan, di antaranya Wanita Katolik Indonesia, Poetri Indonesia, Poetri Boedi Sedjati, Aijsiah, Istri Sedar, Wanita Taman Siswa dan lain sebagainya. Kongres diketuai oleh Ny. Sri Mangunsarkoro.

Kongres menghasilkan keputusan:

– mendirikan Badan Penyelidikan Perburuhan Perempuan yang berfungsi meneliti pekerjaan yang dilakukan perempuan Indonesia;

– tiap perkumpulan yang tergabung dalam Kongres ini akan meningkatkan pemberantasan buta huruf;

– tiap perkumpulan yang tergabung dalam Kongres ini sedapat mungkin berusaha mengadakan hubungan dengan perkumpulan pemuda, khususnya organisasi putri;

– Kongres didasari perasaan kebangsaan, pekerjaan sosial dan kenetralan pada agama;

Kongres menyelidiki secara mendalam kedudukan perempuan Indonesia menurut hukum Islam dan berusaha memperbaiki kedudukan itu dengan tidak menyinggung agama Islam;

Perempuan Indonesia berkewajiban berusaha supaya generasi baru sadar akan kewajiban kebangsaan: ia berkewajiban menjadi “Ibu Bangsa”.

Kongres Perempuan Indonesia menjadi badan tetap yang melakukan pertemuan secara berkala. Didirikan Badan Kongres Perempuan Indonesia untuk mengkoordinasi undangan pertemuan. Dengan berdirinya badan tersebut maka PPII dibubarkan.

Kongres Perempuan Indonesia, Bandung, Juli 1938

Kongres dikuti berbagai perkumpulan perempuan, di antaranya Poetri Indonesia, Poetri Boedi Sedjati, Wanito Tomo, Aisjiah, Wanita Katolik dan Wanita Taman Siswa. Kongres diketuai oleh Ny. Emma Puradiredja. Isu yang dibahas dalam Kongres antara lain, partisipasi perempuan dalam politik, khususnya mengenai hak dipilih. Saat itu pemerintah kolonial telah memberikan hak dipilih bagi perempuan untuk duduk dalam Badan Perwakilan. Mereka di antaranya adalah Ny. Emma Puradiredja, Ny. Sri Umiyati, Ny. Soenarjo Mangunpuspito dan Ny. Sitti Soendari yang menjadi anggota Dewan Kota (Gementeraad) di berbagai daerah. Akan tetapi karena perempuan belum mempunyai hak pilih maka perempuan menuntut supaya mereka pun diberikan hak memilih.

Kongres memutuskan:

-tanggal 22 Desember diperingati sebagai “Hari Ibu” dengan arti seperti yang dimaksud dalam keputusan Kongres tahun 1935;

-membangun Komisi Perkawinan untuk merancang peraturan perkawinan yang seadil-adilnya tanpa menyinggung pihak yang beragama Islam.

Kongres Perempuan Indonesia, Semarang Juli 1941

Kongres ini diikuti oleh berbagai perkumpulan perempuan yang mengikuti kongres perempuan sebelumnya. Kongres diketuai oleh Ny. Soenarjo Mangunpuspito.

Kongres menghasilkan keputusan:

-menyetujui aksi Gapi (Gabungan Politik Indonesia) dengan mengajukan “Indonesia Berparlemen” pidato yang memuat tuntutan hak pilih dan dipilih dalam parlemen, yang ditujukan untuk memperjuangkan Indonesia merdeka.

-mufakat dengan adanya milisi Indonesia

-menuntut agar perempuan pun selain dipilih dalam Dewan Kota juga memiliki hak pilih;

-menyetujui diajarkannya pelajaran Bahasa Indonesia dalam sekolah menengah dan tinggi;

-dibentuk empat badan pekerja:

-badan pekerja pemberantasan buta huruf

-badan pekerja penyelidik masalah tenaga kerja perempuan

– badan pekerja masalah perkawinan hukum Islam

– badan pekerja memperbaiki ekonomi perempuan Indonesia.

Penutup

Kongres Perempuan Indonesia memiliki sejarah panjang dalam mencapai tujuan dan maksudnya, terutama yang menyangkut tuntutan perempuan di dalam perkawinan, dan kehidupan sosial ekonomi. Sebagai sebuah gerakan, Kongres Perempuan Indonesia telah menjadi suatu momentum bersatunya berbagai perkumpulan perempuan. Hal tersebut juga dipengaruhi oleh iklim gerakan nasional saat itu. Situasi dan kondisi sebagai bangsa yang terjajah membuat bangsa bumi putra, apalagi kaum perempuan, sulit bergerak dan mengambil langkah untuk mengorganisasi diri. Maka adalah suatu yang sangat luar biasa bahwa di dalam kondisi seperti itu, para perempuan Indonesia dari berbagai daerah dapat berkumpul bersama, mengemukakan pikiran dan pendapatnya mengenai berbagai permasalahan khususnya permasalahan perempuan.

Kongres Perempuan Indonesia 1928 merupakan suatu gerakan, kongres tersebut adalah wujud suatu kebersatuan perempuan yang dengan kebersadaran atau tidak, melakukan tindakan kolektif melalui perkumpulan-perkumpulan. Tindakan tersebut didasari pengetahuan mengenai adanya ketidakadilan dan subordinasi yang dialami perempuan karena seksualitasnya. Pengetahuan itu telah melahirkan bermacam perbedaan persepsi mengenai titik pandang pemecahan masalah dari masing-masing perkumpulan. Meskipun begitu, pada akhirnya Kongres memutuskan mendirikan suatu gabungan perkumpulan PPPI. Pendirian perkumpulan inilah yang dapat dikenali sebagai persatuan perempuan, kebangkitan perempuan. Kebersatuan itu tidak mereduksi keberadaan perkumpulan perempuan yang tergabung di dalamnya untuk tetap menjadi bagian dari gerakan. Perkumpulan tetap eksis dan masing-masing perkumpulan berusaha melaksanakan keputusan Kongres, sesuai dengan cara dan pijakannya.

Setelah 70 tahun sejak Kongres Perempuan Indonesia tanggal 22 Desember 1928, perempuan Indonesia khususnya yang akan menggabungkan diri dalam Koalisi Perempuan Indonesia untuk Keadilan dan Demokrasi, masih tetap melihat relevansi isu-isu dan permasalahan yang dibahas dalam Kongres Perempuan Indonesia 1928 itu. Maka adalah suatu hal yang penting bagi perempuan Indonesia di mana pun berada, dalam kondisi yang bagaimana pun, dan dengan perbedaan apa pun, berkumpul dan bersatu menyuarakan kepentingan dan menyatakan keterwakilannya.

Masyarakat Indonesia (Nusantara atau Hindia Belanda) saat itu terbagi dalam berbagai suku yang umumnya berbentuk kekerabatan berkasta/berstrata, dan tak lepas dari kendali pemerintah kolonial Belanda. Perempuan dalam berbagai budaya, antara lain Jawa, memiliki keharusan tunduk pada laki-laki, suami atau bapaknya.

Perempuan yang terlibat dalam Kongres Perempuan I, 1928 adalah para perempuan zamannya. Perempuan yang memilih untuk menggunakan kebebasannya untuk berjuang bagi masa depan bangsa Indonesia, khususnya perempuan.

Para perempuan yang turut hadir baik sebagai peserta maupun panitia dalam Kongres Perempuan Indonesia selayaknya mendapatkan ruang cerita sejarah bagi bangsa. Pada saat inilah para perempuan membulatkan tekad, menyerahkan diri berkeringat dan air mata untuk berjuang. Tidak sedikit dari para perempuan ini  harus mengorbankan kepentingan pribadinya. Ibu Soejatin antara lain (yang saat Kongres sebagai pelaksana, dan masih nona) mengalami masalah dalam hubungan asmara karena keaktivannya menyiapkan Kongres. Beliau diputuskan pertunangannya setelah Kongres. Juga banyak cerita lainnya seputar para perempuan yang aktif berjuang ini. Suatu cerita yang personal dan politik, pribadi dan universal. Suatu kisah yang selayaknya selalu dikenang sebagai pelajaran dan dirayakan sebagai perjuangan untuk dilanjutkan.aktivis perempuan 1929

Masyarakat Indonesia (Nusantara atau Hindia Belanda) saat itu terbagi dalam berbagai suku yang umumnya berbentuk feodal, dan tak lepas dari kendali pemerintah kolonial Belanda. Perempuan dalam berbagai budaya, antara lain Jawa, memiliki keharusan tunduk pada laki-laki, suami atau bapaknya.

Perempuan yang terlibat dalam Kongres Perempuan I, 1928 adalah para perempuan zamannya. Perempuan yang memilih untuk menggunakan kebebasannya untuk berjuang bagi masa depan bangsa Indonesia, khususnya perempuan.

Para perempuan yang turut hadir baik sebagai peserta maupun panitia dalam Kongres Perempuan Indonesia selayaknya mendapatkan ruang cerita sejarah bagi bangsa. Pada saat inilah para perempuan membulatkan tekad, menyerahkan diri berkeringat dan air mata untuk berjuang. Tidak sedikit dari para perempuan ini  harus mengorbankan kepentingan pribadinya. Ibu Soejatin antara lain (yang saat Kongres sebagai pelaksana, dan masih nona) mengalami masalah dalam hubungan asmara karena keaktivannya menyiapkan Kongres. Beliau diputuskan pertunangannya setelah Kongres. Juga banyak cerita lainnya seputar para perempuan yang aktif berjuang ini. Suatu cerita yang personal dan politik, pribadi dan universal. Suatu kisah yang selayaknya selalu dikenang sebagai pelajaran dan dirayakan sebagai perjuangan untuk dilanjutkan.

Daftar Kepustakaan

Hardi, Lasmidjah, ed. 1981. Sumbangsihku Bagi Ibu Pertiwi (Kumpulan Pengalaman dan Pemikiran), Buku I. Jakarta: Yayasan Wanita Pejuang.

Hardi, Lasmidjah, ed. 1985. Sumbangsihku Bagi Ibu Pertiwi (Kumpulan Pengalam dan Pemikiran), Buku V. Jakarta: Yayasan Wanita Pejuang.

Suwondo, Nani, S.H. 1968. Kedudukan Wanita Indonesia dalam Hukum dan Masyarakat. Jakarta: Timun Mas.

Siaran Perwari, Tahun I No.3 Desember 1950

Umi. L, bagian dari tulisan “Kongres Koalisi Perempuan, Gerakan Kebangkitan Perempuan Indonesia” materi Kongres Koalisi Perempuan Indonesia 1998, Yogyakarta

(UMI LASMINAH)

Daftar Kepustakaan

Hardi, Lasmidjah, ed. 1981. Sumbangsihku Bagi Ibu Pertiwi (Kumpulan Pengalaman dan Pemikiran), Buku I. Jakarta: Yayasan Wanita Pejuang.

Hardi, Lasmidjah, ed. 1985. Sumbangsihku Bagi Ibu Pertiwi (Kumpulan Pengalam dan Pemikiran), Buku V. Jakarta: Yayasan Wanita Pejuang.

Suwondo, Nani, S.H. 1968. Kedudukan Wanita Indonesia dalam Hukum dan Masyarakat. Jakarta: Timun Mas.

Siaran Perwari, Tahun I No.3 Desember 1950

Umi. L, bagian dari tulisan “Kongres Koalisi Perempuan, Gerakan Kebangkitan Perempuan Indonesia” materi Kongres Koalisi Perempuan Indonesia 1998, Yogyakarta

Blog at WordPress.com.

Up ↑