Mengapa Saya Menolak Pornografi

MENGAPA SAYA MENOLAK PORNOGRAFI DAN MAJALAH PLAYBOY

Karya-karya Refleksi Realitas

Karya-karya manusia lahir dari kolektifitas pikiran dan tertuang kembali dalam bentuk yang bisa dinikmati/diinterpretasikan kembali oleh pikiran dan perasaan manusia dan merupakan pantulan dan refleksi realitas (imajinasi), dan menjadi imej (bentuk). Kemampuan berbeda manusia dalam melahirkan kembali pikiran dan perasaannya beragam bentuk karya terjadi melalui media. Media menampung content/isi pikiran dan perasaan tersebut. Realitas kehidupan manusia sekarang (juga ratusan tahun lalu) menempatkan posisi perempuan secara seksual sebagai manusia kelas kedua—second sex citizen, manusia tanpa kekuasaan/powerless.

Pornografi adalah content atau isi dari karya-karya berbagai media seluruh media pantulan (buku novel, puisi, foto, film, gambar-gambar hidup di internet) yang medegradasi kemanusiaan perempuan. Membuat perempuan sebagai Objek dari mereka yang membutuhkan menginginkan sesuatu “kepuasan” seks.  Dalam konteks seni, saya setuju Benedeto Croce, yang bilang “art ruled uniquely in own’s imagination, Image are its own wealth” . Image atau imaji inilah yang menampung Content pornografi. Karya-karya pornografer, image-nya menampung pikiran-pikiran merendahkan manusia, perempuan hanya sebagai objek seks/gairah laki-laki, dan untuk laki-laki adalah pornografi.

Foto-foto dapat memberikan gambaran ‘bicara’ tentang dirinya atas pengobjektifikasian subjek foto, imajinasi fotografer tertuang dalam Image (gambar) pengobjektifikasian subjek foto. Misalnya perempuan dengan foto yang bicara “ayo lihat aku”, “cumbuaku” “pakai aku”, “aku siap aja”. Foto ini melukiskan realitas adanya “freedom of speech laki-laki, freedom of expression laki-laki”, kebebasan berbicara laki-laki, bebebasan berekspresi laki-laki, karena subjek foto tersebut diarahkan oleh sang photografer/produsen/pornografer. Sebagaimana umumnya dan mayoritas footgrafer/produsen/pornografer menggunakan sistem memandang “to look” cara patriarki dengan nilai dominan laki-laki.

Laki-laki di sini tak sebatas jenis kelamin laki-laki, tapi jauh melampaui, sebagai mana dimaksudkan oleh Maria Mies.


Foto-foto atau adegan film porno melukiskan (imaji) sebagai sajian utamanya. Terutamanya lagi ditujukan untuk menimbulkan dan merangsang birahi para konsumennya, khususnya laki-laki. Target marketnya jelas: laki-laki. Ketika target pasar jelas, laki-laki, yang produknya imej penggambaran secara eksplisit proses dan kejadian penundukkan terhadap perempuan, maka pornografi adalah suatu proses pelestarian yang paling hakiki kekerasan terhadap perempuan. Pornografi tidak saja menstimulus penikmat atau penonton untuk menerima subjek foto/film sebagai sarana merasakan ‘kenikmatan’ menjadi superior, dan berkuasa secara seksual, tetapi juga menginternalisasi ke dalam pikiran/mind pemujaan atas tindakan-tindakan tersebut. Artinya pornografi tidak hanya mereduksi perempuan menjadi objek seks, melainkan juga melestarikannya.

Pornografi dan Hilangnya Akar Budaya Indonesia

Secara jumlah laki-laki di Indonesia mungkin populasinya sedikit dibandingkan perempuan, akan tetapi secara kepemilikan dan penggunaan kekuasaan, laki-laki jauh melebihi jumlahnya. Secara spesifik kekuasaan itu terwujud dalam berbagai bentuk aturan-aturan, kebijakan yang dilahirkan oleh institusi kekuasaan (Lembaga Negara, Lembaga Agama dan Lembaga Pendidikan serta Keluarga). Kekuasaan dalam konteks ini kepemilikian kuasa yang dihasilkan dari kompromi dan penyerahan sebagian kekuasaan diri manusia kepada manusia lain baik yang bersifat kolektif (menginstitusi), maupun individu (suami-istri-pacar-kakak-adik-wali). Penyerahan kekuasaan ini terjadi secara sukarela maupun terpaksa, secara alamiah sebagai manusia-laki-laki kepada sistem patriarki social contract (John Locke); dan mahluk seksual;  kontrak seksual Sexual Contract (Carole Pateman, Standford Univ.Press.,1988), maupun sebagai anggota ras dunia; racial contract (Charles Mills).

Kontrak-kontrak atas kekuasaan diri manusia kepada manusia lain inilah cermin realitas adanya ketimpangan di antara dua manusia laki-laki dan perempuan dan anak-anak. Dalam konteks social contract, perempuan hilang didalamnya, ia hanya menjadi bagian dari laki-laki, perempuan bukanlah warga negara. Ia tak ikut serta didalam kesepakatan kontrak. Adapun dalam Sexual Contract Carole Pateman menekankan bahwa kehidupan manusia dikuasai oleh kontrak sesual, dimana laki-laki sebagai pemegang Kontrak utama, dan seks adalah barter perempuan dalam kehidupan khususnya ekonomi. Rumah tangga adalah kontrak paling jelas dimana perempuan memberi pelayanan seks kepada suami dan mendapat imbalan perlindungan, nama dan ekonomi (pemenuhan kebutuhan). Dalam perkawinan perempuan tidak bisa memilih untuk memberikan seksnya kepada selain suaminya. Pada konteks ini pekerja seks lebih memiliki kebebasan, dua-duanya tetaplah bertumpu pada ekonomi yang diambil dari seks. Pekerja seks dan pornografi adalah sama menempatkan seks bagian genital, tubuh sebagai pusat trade/pertukaran, namun baik Pekerja seks komersial maupun pornografi tidak dalam kuasa dan otorias perempuan selaku pemilik seks dan bagian tubuh yang mampu memuaskan ‘pembeli’ laki-laki.

Pornografi telah menjadikan banyak perempuan kehilangan dignity-nya, kehormatannnya sebagai manusia. Hal ini karena mayoritas laki-laki memandangnya dengan pandangan sebagai pemuas seks, untuk beberapa kasus nyata telah merendahkan kepercayaan diri banyak perempuan. Banyak istri yang tidak seksi seperti bintang-bintang film porno menjadi rendah diri, bahkan kehilangan kepercayaan merasa tidak diinginkan karena para suaminya sering nonton film porno dan mereka tidak dapat melakukan adegan seperti di film tsb. Namun yang pasti pornografi adalah kejahatan kemanusiaan yang menguntungkan industri. Industri adalah mucikari yang legal (mengutip kata-kata Sheila Jeffreys)

Pornografi yang menjadi salah satu fokus perlawanan feminis gelombang kedua harus menghadapi tantangan dari berbagai bentuk budaya kekerasan terhadap perempuan, terutama perkosaan dan kekerasan dalam rumah tangga. Feminis Gelombang Kedua, terutama di Amerika menolak pornografi, dengan lahirnya majalah Playboy. Produksi media yang memuat content pornographic (sexual explicit content women in subordinated)seperti film, majalah membuat tindakan kekerasan, penyiksaan, dan eksploitasi perempuan menjadi erotis yang dalam bahasa televisi di Indonesia sensual (Transtv).

We cannot consider permission to reprint Playboy material in any publication until we first see a copy of the publication making the request… If you are asking to include our material within a book, you must first have found a publisher as Playboy does not grant permission to individual authors of a work.Jadi produksi pornografi adalah bagian industri, bagian dari mengobjekkan tubuh perempuan tidak hanya untuk kepuasan individu tetapi termasuk dalam jaringan industri.Sheila Jeffrey dalam buku Industrial Vagina The Political Economy of the Global Sex Trade bahkan menempatkan Negara sebagai germo. Hal ini bisa dilihat dari berbagai kebijakan negara-negara yang memasukan industri seks dalam paket daya tarik wisata. Di dalam industri pariwisata yang mendorong perempuan dijual untuk menarik wisatawan, budaya asli Nusantara yang meninggikan dan memuliakan perempuan hilang. Perempuan kehilangan jati diri sebagai manusia perempuan yang di masalalu memiliki posisi tinggi, terhormat dan bila memiliki kecantikan dan kesaktian atau kepintaran sulit didapatkan oleh laki-laki biasa.

Pornografi telah menghilangkan budaya asli Nusantara. Perempuan akhirnya rendah, dan selalu masuk dalam kacamata bukan pemimpin, melainkan hanya tambahan dan pelengkap.

Keaslian budaya Nusantara tentang seksualitas yang terbuka tetapi sakral menjadi hilang. Konsep keperawanan dan kesucian menjadi arti yang semata-mata dikaitkan dengan laki-laki selaku pemilik sah kesucian tersebut. Padahal tidak seperti itu dimasalalu.

Blog at WordPress.com.

Up ↑