Prosa Lebaran 2

Indahnya alam sepanjang jalan….Jawa Barat

Prosa Lebaran 2

Lebaran ini aku tahu arti katanya. Lebar-an, Luas-an. Lebih luas.
Itulah mengapa saat Lebaran kita pulang ke kampung halaman.
Agar selalu luas. Kampung asal Leluhur, kampung kini, kampung dahulu. Dahulu sekali.

Lebaran ini aku pulang kampung. Menjumpaimu sebelum dan sesudah pulang kampung.
Tawamu masih sama, alto. Tawamu lainnya jarang terdengar. Kita jarang bicara, sehingga tak ada suara tuk didengar.

Lebaran ini aku pulang kampung. Menyusuri jejak kemegahan Leluhur. Pada gunung dan bukit, pada nama-nama yang akan menjadi bukti.

Lebaran ini aku mengalami keIndonesiaan. Pengalaman khusus bangsa Indonesia: melihat keistimewaan, keanehan, keluar-biasaan, yang hanya terjadi di Indonesia.

Lebaran ini aku pulang kampung, dengan niat menapaki jejak Leluhur.
Kau tak ikut. Tak apa. Tak ada rencana katamu. Kudengar suaramu sedikit saat kutiba di kampung.

Kampung dengan banyak kolam-kolam ikan mujair dan gurame.
Kampung dengan banyak poster-poster anggota dewan dan calon bupati atau gubernur.

Kampung yang menyimpan rahasia kebesaran Leluhur.

Tahun 2012 aku pulang kampung lagi, setelah 5 tahun tak pulang. Lima tahun lalu kami pulang, berkendara bersama keluarga besar.

Lebaran ini aku pulang kampung, sendiri di bis yang cepat mengantar penumpang. Bis lancar lewatnya, suara besar klakson bis-nya membuat motor-mobil meminggir memberi jalan.

Bisnya cepat. Kutiba di kampung 7 jam perjalanan, kembali balikĀ  Jakarta 7 jam lamanya.

Tahun ini aku pulang kampung, bersama sejumput pikiran tentang Jakarta, kota kelahiranku, kota aku dibesarkan, kota yang selalu memberi harapan.

Tahun ini aku pulang kampung..terimakasihku orang desa yang selalu menjaga kampung, untuk tetap bersahaja dan penuh citarasa.

Tahun ini aku pulang kampung, aku termasuk dalam statistik 7 jutaan warga Jakarta yang pulang kampung di tahun 2012.

Aku ingin selalu pulang kampung, walau berlebaran di Jakarta.

pulang kampung

24 September, menjelang malam di antara lampu lalu lintas Jakarta, aku naik kendaraan umum untuk pulang ke rumah. Kulalui jalan-jalan Jakarta yang ramai. Klakson bersahutan, orang-orang menyebrang, motor-motor berseliweran, memotong jalan di antara mobil-mobil.
Pada suatu halte dekat lampu merah yang baru saja terlewati, orang-orang muda, berjongkok berdiri, dan duduk di antara kardus-kardus. Mereka akan pulang mudik, pulang ke kampung halaman. Menanti bis yang akan membawa mereka mengarungi jalan-jalan di Jawa. Menunggu kendara yang akan menyertakan mereka pada suasana sama, duduk berlama-lama, pantat pegal, lelah dan tertidur hingga sampai di kampung.
Orang-orang muda laki perempuan ini bercelana pajang, berjaket jeans. Wajah-wajah menyiratkan rindu dan tunggu. Ada juga aura kebingungan dan kejenuhan, serta kelelahan.
Lampu merah berganti kuning, lalu hijau. Orang-orang muda yang hendak menjumpai sanak saudara dan handai taulan masih menunggu di halte bersama menanti malam. Laki perempuan sama, serasa, karena kampung yang menanti tak peduli siapapun yang mencintainya dan pulang.

Blog at WordPress.com.

Up ↑