Para Lelaki Pendukung Pergerakan Perempuan

Gerakan Perempuan Indonesia bukanlah gerakan statis bukan pula gerakan tertutup. Sejarahnya gerakan perempuan Indonesia beriring jalan dengan pergerakan nasional. Bahwa organisasi-organisasi pemuda yang berdiri memiliki anggota putri, dan juga kemudian mendirikan organisasi putri, seperti Jong Java ( anggotanya laki-laki dan perempuan), Wanito Tomo bagian perempuan dari Boedi Oetomo dsb. Ini juga berlaku di organisasi massa keagamaan baik itu Islam, Katholik, Kristen, Hindu dan Budha.

Perempuan juga terlibat dan hadir didalam Kongres Pemuda Oktober  1926 dan Kongres Pemuda 1928. Tak lama sesudah Kongres Pemuda dengan kelahiran Sumpah Pemuda 1928. Perempuan mengadakan Kongres Pertama 22 Desember 1928. Organisasi perempuan dari penjuru Nusatara hadir. Barat dan Timur Nusantara.


Kongres Perempuan Desember 1928 menjadi tonggak utama perjuangan hak perempuan Indonesia selanjutnya, pemandu gerakan sosial yang diprakarsai atau dilakukan perempuan selanjutnya.

Keberhasilan Kongres Perempuan 1928 adalah keberhasilan perempuan dan didukung oleh para laki-laki progresif di jamnnya. Pergerakan Perempuan dalam konteks ini adalah perjuangan perempuan sebelum kemerdekaan 1945 hingga Revolusi Kemerdekaan seputar Agresi militer Belanda 1947-1949.

Secuplik Kisah dibelakang Kongres Perempuan I 22 Desember 1928 dan Kongres II, 1929 

Banyak cerita menarik dibalik pelaksanaan Kongres Perempuan I, peristiwa yang menjadi momentum utama dalam Pergerakan Perempuan Indonesia.    Ketua Pelaksana Kongres I, Suyatin memilih memutuskan dua orang tunangannya (saat mempersiapan Kongres yang berbeda tahun), ketimbang mengabaikan Tugas Ketua Pelaksana Kongres, akhirnya Suyatin mendapatkan suami yang mendukung perjuangannya memajukan perempuan lewat organisasi.

Salah seorang relawan Kongres (karena tidak duduk sebagai panitia), bernama Mugarumah, guru lulusan Normaalschool, sakit-sakitan, namun bersikeras membantu persiapan Kongres I, ia meninggal usia muda karena tuberkolosis, meninggalkan wasiat sebagian harta yang diperoleh pribadi bagi Pergerakan Perempuan, dalam Yayasan Sri Derma yang memberi beasiswa pada murid perempuan tak mampu.

Pada Kongres II, 1929 di gang Kenari Jakarta Pekik “merdeka, merdeka, merdeka” memenuhi ruangan, polisi kolonial kelihatan resah seperti hendak membubarkan kongres, dengan cepat sidang ditutup, sidang selanjutnya dilaksanakan secara tertutup. 

Kongres Perempuan I adalah suatu pertemuan yang menjadikan bahasa Melayu (Bahasa Indonesia), sebagai pengantar baik dalam percakapan sehari-hari maupun dalam pertemuan/sidang, sehingga para peserta yang sebelumnya terbiasa berbahasa Belanda harus belajar bahasa Melayu. Belanda agak ketat mengawasi Kongres II, acara berdekatan waktunya dengan penangkapan Bung Karno.

Dua laki-laki berjasa meminjamkan tempat, yang Kongres Pertama di Yogyakarta, tempat KRT Joyodipuro (Raden Mas Kobar) dan yang Kongres Kedua di Jakarta bertempat di gedung milik keluarga MH Thamrin. Ki Hajar Dewantoro termasuk yang memberi sambutan dalam Kongres I, dan menutup sambutannya dengan tembang Witing Kelopo karya Ronggowarsito, yang melambangkan perempuan sebagai mahluk yang sanggup mengatur masyarakat.

Organisasi perempuan Belanda yang telah ada di Hindia Belanda juga diundang hadir oleh Panitia Kongres, namun karena mereka datang terlambat tidak mendapatkan kursi duduk di depan 😊 Bahkan ada yang memindahkan kursi di depan, lalu disuruh pindah lagi ke belakang sesuai posisi saat kedatangannya.

Tulisan ini hendak mencoba mengidentifikasi laki-laki, pejuang, maupun yang telah terdaftar sebagai Pahlawan Nasional sebagai pendukung Pergerakan Perempuan, sejak sebelum Indonesia Merdeka hingga 1955. Adapun Kepala Negara, Presiden, Perdana Mentri, atau Wakil Presiden tidak dimasukkan, karena telah termasuk dalam jabatannya untuk mendukung perjuangan keseteraan gender, yaitu: Soekarno. Moh.Hatta , Ali Sastroamidjojo, Syahrir.

Laki-laki Anggota dan Pemimpin Organisasi Pergerakan Nasional

Perjuangan pemuda dalam pergerakan nasional melalui organisasi yang bersifat modern telah mulai mengenal istilah emansipasi, yang dipopulerkan RA Kartini dalam bukunya yang terbit 1911  Door Duisternis tot Licht (1911) terjemahan Arijn Pane “Habis Gelap Terbitlah Terang” 1939. 

Bagi para lelaki yang tergabung dalam pergerakan Kartini bukanlah sosok asing, karena pada umumnya yang ikut dalam organisasi pergerakan adalah kaum terpelajar dan dapat berbahasa Belanda.

Pergerakan Perempuan dalam konteks ini adalah perjuangan perempuan sebelum kemerdekaan hingga Revolusi Kemerdekaan seputar Agresi militer Belanda 1947-1949. 

Kondisi perjuangan pergerakan perempuan pada masa ini memiliki ciri tersendiri, dimana pada masa ini istilah status perempuan sebagai mana yang dipakai oleh Bangsa Belanda masih dipakai, yaitu Ny (untuk yang sudah menikah, biasanya nama suaminya yang dipakai), dan Nona untuk perempuan yang belum menikah yang seringkali tidak mencantumkan nama ayahnya.

Pudiarso Kartowiyono, suami dari Sujatin Kartowijono (ketua pelaksana Kongres Perempuan I)

A.K Pringgodigdo suami dari Suwarni pendiri perkumpulan Isteri Sedar

R.Kd Agad Suriawinata suami R. Dewi Sartika, demi mendukung istrinya menolak jabatan yang lebih tinggi yang ditawarkan pemerintah.

Mohamad Roem, suami dari Dahlia Roem aktivis perempuan jaman pergerakan

Soedjatmoko, intelektual bebas, pejuang diplomasi kemerdekaan, pernyataannya “hendaknya para wanita di dalam organisasi–organisasi baru itu dilihat dan diperlakukan sebagai sekutu, sebagai kawan perjuangan potensial, yang membuka kemungkinan untuk bersama-sama memperluas gelanggang perjuangan gerakan wanita indonesia. Dan adapun saingan fasilitas, memang sudah waktunyalah bagi gerakan wanita untuk membebaskan diri dari ketergantungannya pada fasilitas-fasilitas yang di dapat oleh sang suami atau pemerintah dan untuk memperkembangkan kemampuannya untuk mengumpulkan dana-dana sendiri”.

Laki-laki dengan Status Tokoh, dan Mendapat Gelar Pahlawan Nasional

Ki Hajar Dewantara, suami dari Nyi Hajar Dewantara turut ambil bagian dalam Kongres Perempuan I 1928

W.R Supratman, pencipta lagu Indonesia Raya, pencipta lagu Kartini

Dr Abdurrahman Saleh, AU, suami dari Ismoedijati Anggota Jong Java

H. Agus Salim: Dalam kongres Jong Islamieten Bond ke-2 di Yogyakarta pada 1927, Agus Salim dengan persetujuan pengurus Jong Islamieten Bond menyatukan tempat duduk perempuan dan laki-laki. Ini berbeda dari kongres dua tahun sebelumnya yang dipisahkan tabir; perempuan di belakang, laki-laki di depan. “Ajaran dan semangat Islam memelopori emansipasi perempuan,”. Agus Salim beserta istrinya juga yang membantu Sujatin Kartowijono ketika terbuang dari Yogyakarta untuk memulai hidup di Jakarta.

HAMKA Haji Abdul  Malik Karim Amarrullah  buku-buku karya sastranya memuat perjuangan perempuan, termasuk esai-esainya.

Mohamah Yamin, suami Sundari aktivis perempuan jaman pergerakan

Soepomo,  menjadi narasumber diskusi perempuan mendapatkan masukan bidang hukum dalam memperjuangkan Undang-undang Perkawinan

Penutup

Bahwa apa yang tercantum dalam tulisan ini tidak membatasi banyaknya laki-laki yang mendukung pergerakan perempuan baik secara langsung maupun tak langsung. 

Tulisan ini hanya sedikit dari penggalian dokumentasi yang dilakukan beberapa jam saja. Berharap akan jadi pemantik penelitian lebih jauh tentang  peran laki-laki dalam pergerakan perempuan, bagaimana pun realitasnya patriarki masih sangat kuat pada masa perjuangan dahulu, sehingga tetap memerlukan “justifikasi” “ijin” dari laki-laki. @umilasminah

Sumber Pustaka:

 Sujatin Kartowiyono, Mencari Makna Hidupku.Hanna Rambe, Jakarta., Sinar Harapan 1983.

Perjuangan Wanita Indonesia 10 Windu Setelah Kartini 1904-1984., Departemen Penerangan 1984

Create a free website or blog at WordPress.com.

Up ↑